Serahkan Diri Langsung Ditahan, ICW Pertanyakan Harun Masiku

Serahkan Diri Langsung Ditahan, ICW Pertanyakan Harun Masiku

Andreau Pribadi Misata, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) yang juga mantan Caleg PDIP dalam Pemilu 2019 Andreau Pribadi Misata (APM) JAKARTA – Dua tersangka kasus dugaan suap perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020 menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Usai diperiksa keduanya langsung ditahan. Dua tersangka itu adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) yang juga mantan Caleg PDIP dalam Pemilu 2019 Andreau Pribadi Misata (APM) dan swasta/Sekretaris Pribadi Menteri Kelautan dan Perikanan Amiril Mukminin (AM). "Siang ini sekira pukul 12.00 WIB, kedua tersangka APM dan AM secara kooperatif telah menyerahkan diri dan menghadap penyidik KPK," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Kamis (26/11). https://radarbanyumas.co.id/edhy-kecapit-lobster-kpk-tetapkan-tersangka-luhut-jabat-menteri-kkp-ad-interim/ Usai menjalani pemeriksaan keduannya langsun ditahan. Penahanan untuk 20 hari pertama guna kepentingan penyidikan. “Untuk kepentingan penyidikan, KPK melakukan penahanan tersangka AM dan APM selama 20 hari,” ujar lanjut Deputi Penindakan KPK Karyoto. Penyidik menahan keduanya di Rutan KPK cabang Gedung Merah Putih terhitung sejak 26 November hingga 15 Desember 2020. “Sebagai protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19, maka tahanan akan terlebih dulu dilakukan isolasi mandiri selama 14 hari di Rutan Cabang KPK pada Gedung ACLC KPK di Kavling C1,” kata Karyoto. Selain keduanya, KPK terlebih dulu telah menahan lima tersangka lain. Mereka adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Staf Khusus Menteri KP Safri, Staf Istri Menteri KP Ainul Faqih, dan Pengurus PT PLI Siswadi selaku penerima suap, dan Direktur PT DPP Suharjito yang diduga pemberi suap. Kasus yang membelit Edhy, bermula ketika Menteri KKP itu menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster pada 14 Mei 2020. Edhy menunjuk Andreau menjadi Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence). Tim tersebut bertugas memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan calon eksportir benur. Selanjutnya pada awal Oktober 2020, Suharjito selaku Direktur PT DPP menemui Amiril di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta melakukan kesepakatan untuk nilai biaya angkut Rp1.800 per ekor dengan APS dan Suswadi. “Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp731.573.564,” ucap Karyoto. Selanjutnya, PT DPP atas arahan Edhy melalui Tim Uji Tuntas (Due Diligence) memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster atau benur dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT ACK. Kemudian pada 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening ABT ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih sebesar Rp3,4 miliar. Uang tersebut diperuntukkan bagi keperluan Edhy beserta istrinya Iis Rosita Dewi, Safri, dan Andreau. Edhy dan Iis diduga menggunakan sebagian uang suap tersebut, sebanyak Rp750 juta, guna berbelanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS). Keduanya diduga berbelanja jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, serta baju Old Navy. Selain itu, sekitar Mei 2020, Edhy juga diduga menerima uang sebesar USD100 ribu dari Suharjito melalui Safri dan Amiril. Safri dan Andreau juga menerima uang sebesar Rp436 juta dari Ainul sekitar Agustus 2020 lalu. Atas perbuatannya, Andreau dan Amiril disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Diketahui, Andreau dan Amiril bukan termasuk pihak-pihak yang diamankan tim satgas KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) di sejumlah lokasi pada Rabu (25/11) dini hari. Namun, KPK tetap menetapkan keduanya sebagai tersangka dalam perkara ini. Keduanya lantas menyerahkan diri ke Kantor KPK pada pukul 12.00 WIB. Penangkapan KPK atas Edhy Prabowo dan pengungkapan kasus korupsinya diapresiasi Indonesia Corruption Watch (ICW). Namun, ICW juga menyoroti gagalnya KPK dalam menangkap buronan Harun Masiku. “Dalam konteks ini ICW pun mempertanyakan kenapa aktor selevel menteri dapat ditangkap KPK, sedangkan Harun Masiku tidak?” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. Dia yakin Harun belum tertangkap lantaran Deputi Penindakan enggan mengevaluasi tim satgas yang ditugaskan untuk memburu mantan Kader PDIP itu. Untuk itu, akan lebih baik jika pimpinan KPK segera membubarkan tim satgas Harun Masiku dan menggantinya dengan satgas lain. Kurnia menyarankan KPK untuk mengganti tim satgas Harun dengan satgas yang berhasil menangkap mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono, serta Direktur PT MIT Hiendra Soenjoto. Tim satgas tersebut dikepalai penyidik senior Novel Baswedan. Satgas tersebut juga diketahui turut mengamankan Edhy Prabowo dalam OTT di Bandara Soekarno Hatta, Rabu (25/11) dini hari. “Jika ini tidak kunjung dilakukan, maka patut diduga ada pihak-pihak di internal KPK yang berkeinginan melindungi Harun Masiku,” tutur Kurnia. Meski begitu, pada dasarnya ICW mengapresiasi kinerja penyidik KPK atas kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster. Namun, kata kurnia, proses hukum tersebut tidak begitu saja dapat diartikan bahwa kondisi KPK masih seperti sedia kala. Sebab, menurutnya, sejak berlakunya UU 19/2019, penindakan KPK menurun drastis. “Selain karena adanya ketidaksamaan visi di antara Pimpinan KPK, hal lain juga terkait proses penindakan yang semakin melambat karena adanya Dewan Pengawas,” ucapnya.(riz/gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: