Panwas Cilacap Terima Dua Laporan Money Politik
* Dua-duanya Tidak Terbukti * Partisipasi Pemilih Lebih Rendah CILACAP-Panitia Pengawas Kabupaten (Panwaskab) Cilacap mendapati ada dua laporan dugaan money politik selama masa kampanye hingga masa hari tenang pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Cilacap kemarin. Namun, kedua laporan tersebut tidak terbukti setelah Panwaskab melakukan pengecekan. Ilustrasi "Ada dua laporan. Pertama di Desa Cigedondong Kecamatan Bantarsari. Kedua di Kesugihan," ujar Ketua Panwaskab Cilacap, Warsid, disela-sela monitoring pelaksanaan Rapat Pleno Penghitungan Suara di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Majenang, Jumat (17/2) kemarin. Dia mengatakan, laporan money politik di Kecamatan Bantarsari sudah ditelusuri. Panwas memanggil pelapor dan terlapor. Termasuk menyusuri daerah yang diduga sebagai sasaran penyebaran uang untuk para pemilih. "Sudah kita cross check dan tidak ada temuan," katanya. Sementara laporan di Kecamatan Kesugihan, pelapor justru mencabut berkas yang sudah diberikan ke Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam). Pelapor beralasan, bagi-bagi duit beberapa hari sebelum pencoblosan itu minim data pendukung hingga dia menggangap tidak kuat. "Laporan dicabut karena pelapor merasa bukti masih kurang kuat," katanya. Panwaskab juga mendapati temuan lain saat rekapitulasi di tingkat PPK. Salah satunya ada keengganan dari saksi untuk membaca jumlah pemilih yang hadir. Keengganan saksi ini kemudian disepakati peserta rekap hingga hanya membacakan hasil perolehan suara ketiga pasangan calon bupati dan wakil. "Alasan yang diungkapkan saksi rata-rata karena jumlah TPS yang harus dibaca selama rapat pleno sangat banyak," katanya. Temuan seperti ini, katanya, terjadi di Kecamatan Majenang. Disana PPK hanya mencantumkan perolehan suara ketiga pasangan ditambah suara tidak sah. Sementara jumlah pemilih yang hadir, tidak dituliskan meskipun sempat dibacakan oleh PPK. "Kami menyayangkan itu," ujarnya. Karenanya, Panwaskab meminta Panwas Kecamatan mencermati itu. Jika muncul ada perbedaan harus segera diselesaikan. Kalau kesalahannya fatal, maka harus dicari sumber kesalahannya. Ketua PPK Majenang, Banu Tholib mengatakan, pada kasus di Majenang ada jumlah pemilih yang hadir sebenarnya sudah dibacakan saat rapat pleno. Hanya saja tidak dicantumkan dalam formulir plano dan dipampang. "Ini kita bacakan," kata dia. Sementara jika ada perbedaan atau sanggahan dari saksi, maka akan ditelusuri sumbernya. Petugas bersama saksi akan membongkar data dari TPS. Jika kesalahan karena perbedaan suara, maka data awal yang dicari adalah formulir C1 plano. "Kita carikan sumber masalahnya dimana dan langsung dibetulkan," kata Banu. PPK Majenang juga mengumumkan pemenang TPS terunik. Pemenang pertama adalah TPS 07 Desa Pangadegan. TPS ini mendapatkan poin tertinggi karena petugas menggenakan pakaian adat. Disamping itu, TPS juga dihias dengan bunga dan pintu masuk bagi pemilih juga ditata mirip pintu masuk keraton. Disamping itu, panitia memperdengarkan musik khas sunda selama proses pemungutan suara. "Pemenang kedua adalah TPS 10 Jenang dan ketiga TPS 7 Cibeunying," tandasnya. Perantauan Sebabkan Partisipasi Rendah Partisipasi pemilih di Kecamatan Kroya dalam Pilkada tahun 2017 ini dinilai lebih rendah dari Pilkada tahun 2012 lalu. Pasalnya rata-rata kehadiran hanya sampai pada angka 62,96 persen. Padahal, Pilkada Cilacap 2012 mencapai 69 persen. Salah satu yang menjadi penyababnya dari informasi yang diberikan PPS maupun PPK yakni banyaknya warga yang menjadi warga perantauan. Baik yang merantau di daerah lain maupun yang merantu ke luar negeri menjadi TKI. Ketua PPK Kecamatan Kroya H Jauhari kepada Radarmas menjelaskan hal itu sebenarnya sudah terbaca saat undangan dibagi. Saat dikonfirmasi warga langsung memberikan keterangan terkait dengan anggota keluarganya yang tidak bisa mencoblos. “Kami mendapat informasi dari petugas TPS yang memberikan undangan banyak undangan yang langsung dikembalikan dan mengatakan jika yang bersangkutan sedang merantau,” kata dia. Dia menjelaskan untuk Kecamatan Kroya persentase partisipasi tertinggi ada di Desa Kroya yang mencapai 68 persen. Dan terendah partisipasinya ada di Desa Sikampuh yang hanya 57 persen. Dan yang menjadi alasan tertinggi yakni merantau. Hal yang sama terjadi di Kecamatan Adipala. Alasan paling banyak warga yang tidak menggunakan hak suaranya memang karena merantau atau bekerja. Sebab Adipala juga menjadi kantong TKI serta banyak warga yang merantu di kota-kota besar. “Hari pemungutan suara menjadi hari libur ternyata tak membuat warga perantu pulang. Bahkan hari libur tersebut digunakan untuk istirahat atau refresing, bukan untuk pulang mencoblos,”kata H Mustofa PPs di Desa Glempang Pasir. Menurut dia alasan ekonomi menjadi hal yang paling kuat, dimana para pemilih juga memperhitungkan ongkos. Sebab untuk yang bekerja di Jakarta saja maka perlu ongkos yang tidak sedikit agar bisa pulang kampung. “Apalagi liburannya hanya sehari, sehingga sangat tidak mungkin untuk bisa menggunakan hak suaranya,”ujar dia. Sementara itu dari berdasarkan pemantaun Radarmas meski sudah berkali-kali dilaksanakan pemilu namun suara yang masuk kategori tidak sah masih cukup tinggi. Seperti di Adipala yang mencapai 1.223 suara dan di Kroya 1.234 suara yang tidak sah.(yan/har/ttg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: