Irjen Napoleon Minta Jatah Rp 7 M, Didakwa Terima Suap Hapus DPO Djoko Tjandra

Irjen Napoleon Minta Jatah Rp 7 M, Didakwa Terima Suap Hapus DPO Djoko Tjandra

Irjen Pol Napoleon. Foto Istimewa JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte menerima suap senilai SGD200 ribu dan USD270 ribu dari terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra), melalui perantara pengusaha Tommy Sumardi. Suap tersebut diduga bertujuan untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari Datar Pencanan Orang (DPO) di Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham. https://radarbanyumas.co.id/salah-tulis-nama-dalam-surat-dakwaan-kuasa-hukum-djoko-tjandra-batal-demi-hukum/ Perbuatan tersebut diduga dilakukan Napoleon bersama mantan Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo. Adapun, Prasetijo disebut menerima USD150 ribu dari Djoko Tjandra yang juga melalui perantara Tommy Sumardi. "Telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Brigjen Pol Prasetijo Utomo masing-masing selaku pegawai negeri atau penyelengara negara yaitu terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte telah menerima pemberian atau janji yaitu terdakwa lrjen Pol Napoleon Bonaparte menenima uang sejumah SGD200 ribu dan sejumlah USD270 ribu dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo menerima uang sejumlah USD150 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra melalui Tommy Sumardi," ujar Jaksa Zulkipli membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (2/11). Kasus tersebut bermula kala Djoko Tjandra berkeinginan untuk masuk ke Indonesia secara sah untuk mengurus Peninjauan Kembali (PK) atas kasus korupsi Bank Bali. Ia lalu menghubungi Tommy Sumardi dan bersedia memberikan uang sejumlah Rp10 miliar kepada pihak-pihak terutama pejabat di NCB INTERPOL Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri. Tommy Sumardi lantas meminta bantuan Prasetijo untuk memeriksa status red notice Djoko Tjandra dan mengenalkannya ke Napoleon. Napoleon sempat meminta imbalan sebesar Rp3 miliar kepada Tommy. Keesokan harinya, Tommy bersama Prasetijo membawa uang sebesar USD100 ribu yang dibungkus paper bag berwarna gelap menuju Napoleon yang berada di Kantor Kepala Divisi Hubungan Internasional di Lantai 11 Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan. Akan tetapi, Napoleon menolak pemberian uang USD50 ribu yang telah dibagi dua dengan Prasetjio. Alasannya, uang tersebut tidak cukup lantaran dirinya mesti turut memberikan jatah kepada "petinggi" yang menempatkannya di posisi itu. Ia bahkan sempat menaikkan permintaannya menjadi Rp7 miliar. Lantas pada 28 April 2020, Tommy kembali mengunjungi kantor Kadivhubinter untuk menyerahkan SGD200 ribu kepada Napoleon. Keesokan harinya, Tommy kembali menyerahkan uang senilai USD100 ribu kepada Napoleon yang dibungkus dalam kantong plastik putih. Selanjutnya, Tommy Sumardi atas perintah Djoko Tjandra kembali menyerahkan uang total USD170 ribu kepada Napoleon. Atas penerimaan itu, Napoleon memerintahkan Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat Nomor B/1030/V/2020/NCB-Div Hl tanggal 04 Mei 2020 perihal Pembaharuan Data Interpol Notices, yang ditandatangani oleh Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo. Surat itu ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham RI Up. Dinwasdakim. Adapun, isi surat tersebut pada pokoknya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice. Keesokan harinya, Napoleon kembali memerintahkan Tommy Aria untuk membuat surat Nomor B/1036/V/2020/NCB-Div HI tanggal 05 Mei 2020, perihal Penyampaian Penghapusan Interpol Red Notices, yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham RI Up. Dinwasdakim. Surat itu menginformasikan bahwa Interpol Red Notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra, Control No: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data interpol sejak tahun 2014 (setelah 5 tahun). Usai surat tersebut diterbitkan, Prasetijo menghubungi Tommy Sumardi dengan maksud meminta uang. Keesokan harinya, Tommy menemui Prasetijo di ruangannya dan menyerahkan USD50 ribu. Sehingga total suap yang diterima Prasetijo mencapai USD150 ribu. Atas kedua surat itu, maka pada 13 Mei 2020, Ferry Tri Ardhiansyah selaku Kepala Seksi Pencegahan Subdit Cegah Tangkal Dirwasdakim pada Ditjen Imigrasi setelah mendapat disposisi dari Sandi Andaryadi selaku Kepala Sub Direktorat Cegah Tangkal Dirwasdakim pada Ditjen Imigrasi, melakukan penghapusan status DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem ECS pada SIMKIM Ditjen Imigrasi. Penghapusan status itu kemudian digunakan oleh Djoko Tjandra untuk masuk ke wilayah Indonesia dan mengajukan Peninjauan Kembali pada bulan Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Bahwa perbuatan terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo tersebut mengakibatkan terhapusnya status DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra pada sistem ECS Imigrasi, bertentangan dengan kewajibannya sebagai polisi yang seharusnya melakukan penangkapan terhadap Joko Soegiarto Tjandra jika masuk ke Indonesia dan seharusnya menjaga informasi Interpol hanya untuk kepentingan Kepolisian dan penegakan hukum serta bertentangan pula dengan kewajibannya untuk tidak menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janiji," kata Jaksa Zulkipli. Atas perbuatannya, Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Menanggapi dakwaan yang dibacakan, Napoleon Bonaparte melalui Tim Penasihat Hukumnya, Santrawan T Paparang, bakal mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Hal ini dilakukan lantaran Santrawan menilai tidak ada saksi yang menyatakan ada proses penyerahan uang dari Djoko Tjandra, Tommy Sumardi, hingga ke kliennga. "Perkara ini rekayasa, perkara palsu. Catat itu, akan kami uraikan di dalam ekspesi," kata dia. Dakwaan Tommy Sumardi Dalam kesempatan yang sama, JPU juga mendakwa Tommy Sumardi bersama-sama dengan Djoko Tjandra menyuap Napoleon dan Prasetijo masing-masing SGD200 ribu dan USD270 ribu, serta USD150 ribu. Suap itu bertujuan agar Napoleon dan Prasetijo menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi. "Memberi atau menjanjikan sesuatu berupa uang seluruhnya sejumlah SGD200 ribu dan USD370 ribu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu kepada Napoleon Bonaparte selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri sejumlah SGD200 ribu dan sejumlah USD270 ribu serta kepada Prasetijo Utomo selaku Kepala Biro Kordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri sejumlah USD150 ribu," kata Jaksa Zulkipli. Atas perbuatannya, Tommy Sumardi didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (riz/gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: