Polri dan Kejagung Tak Boleh Tolak KPK Saat Ambil Alih Kasus

Polri dan Kejagung Tak Boleh Tolak KPK Saat Ambil Alih Kasus

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. JAKARTA - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak dapat menolak keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengambil alih perkara korupsi yang ditangani kedua institusi penegak hukum itu. Sebab, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji mengatakan, berdasarkan Pasal 10A UU KPK dan Pasal 9 Perpres tersebut, KPK dapat mengambil alih perkara korupsi. Pengambil-alihan usai KPK menelaah hasil penelitian dan rekomendasi dengan melakukan gelar perkara terhadap hasil pengawasan dan laporan penelitian di Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Setelah KPK memutuskan mengambil alih perkara, Kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat menolak. https://radarbanyumas.co.id/icw-dorong-libatkan-novel-tangkap-harun/ "Maka aparat penegak hukum lain tidak bisa menolak pengambilalihan perkaranya dan ini memang amanah dan perintah UU yang imperatif sifatnya," kata Indriyanto kepada wartawan, Minggu (1/11). Ia menyebutkan, substansi Perpres 102/2020 merupakan implementasi dari praktik supervisi dan pengambilalihan perkara yang selama ini telah dilakukan KPK terhadap kasus-kasus di Polri dan Kejagung. Ia menambahkan, rumusan-rumusan perpres sama halnya dengan UU KPK dan bersifat implementatif. Termasuk makna serta pengertian pengawasan, penelitian dan penelaahan. Dengan demikian, Perpres menjadi dasar legitimasi KPK menjalankan tugas supervisi dan pengambilalihan kasus yang ditangani Polri dan Kejaksaan di tahap penyidikan dan penuntutan. "Memang Perpres ini memberikan dan memperkuat basis legitimatif KPK terhadap soal supervisi dan pengambilalihan kasus yang sudah diatur pada Pasal 10A UU KPK, walau implementasi Pasal 9 Perpres, dasar dan alasan pengambilalihan masih memerlukan koordinasi kelembagaan yang bisa dilakukan melalui MoU (Memorandum of Understanding) ketiga lembaga tersebut," katanya. Kendati begitu, Indriyanto menekankan agar pelaksanaan Perpres 102/2020 harus tetap mempertahankan dan menjaga spirit sinergitas dalam melakukan koordinasi dan supervisi di antara KPK, Polri, serta Kejaksaan. Sementara itu, KPK menyambut baik atas terbitnya Perpres tersebut. Dengan terbitnya Perpres ini, KPK berharap Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian terkait mekanisme koordinasi dan supervisi dapat segera ditandatangani. "Nanti dalam waktu singkat MoU pelaksanaan korsup ini akan segera ditandatangani sehingga bisa dioperasionalkan," kata Deputi Penindakan KPK Karyoto. Karyoto mengatakan, perpres yang dikeluarkan Jokowi sangat membantu lembaga antirasuah untuk melakukan supervisi terhadap instansi yang juga berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi. Perpres itu, ia memandang, dapat memberikan pemahaman kepada Polri dan Kejagung mengenai koridor dalam menangani kasus-kasus korupsi. "Perpres supervisi amanah UU. Setelah UU 19 Tahun 2019 tentang KPK disahkan mewajibkan adanya Perpres yang mengatur pelaksanaannya, yang kemarin memang aparat penegak hukum lain masih menunggu perpres ini untuk sebagai landasan adanya MoU. Sehingga terus terang saja dengan adanya Perpres ini membantu bagaimana pemahaman rekan-rekan penegak hukum lain dalam hal penindakan tindak pidana korupsi sehingga tahu batasan-batasannya," kata Karyoto. Diketahui, Perpres ini menjadi landasan KPK menjalankan tugas koordinasi dan supervisi (korsup) penanganan perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung dan Kepolisian sebagaimana amanah UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Pasal 10 ayat (1) UU KPK menyebutkan, "Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi." Sementara Pasal 10 A ayat (2) mengatur syarat-syarat suatu perkara dapat diambil alih KPK, yakni laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti; proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya; penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan Pasal 9 Perpres Nomor 102/2020 menegaskan, "Berdasarkan hasil Supervisi terhadap perkara yang sedang ditangani oleh instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambilalih perkara Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/ atau Kejaksaan Republik Indonesia." (riz/gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: