Tjlatjapan Poetry Forum: Ajang Panggung Penyair Muda dan Penumbuh Gerakan Literasi

Tjlatjapan Poetry Forum: Ajang Panggung Penyair Muda dan Penumbuh Gerakan Literasi

KOMPAK  TPF bekerjasama dengan TBJT memfasilitasi launching seri dokumentasi sastra edisi antologi puisi Pendhapa #18 bertajuk Epilog Kota-Kota Tahun 2016 ini komunitas sastra Tjlatjapan Poetry Forum (TPF) yang mengusung gerakan literasi (baca: tulis-red) di Cilacap berumur delapan tahun. Penyair Badruddin Emce, sang generator komunitas, masih tetap bersemangat merangkul anak-anak muda mulai dari kalangan santri, siswa SMA sampai mahasiswa di berbagai wilayah Cilacap untuk membiasakan diri menulis sastra melalui bengkel-bengkel penulisan. ABDUL AZIZ RASJID, Cilacap Delapan tahuan setia menggeluti sastra, TPF juga memfasilitasi launching seri dokumentasi sastra edisi antologi puisi Pendhapa #18 bertajuk Epilog Kota-Kota (2016) yang diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) dimana karya-karya dari 5 penyair muda Cilacap terhimpun di dalam buku tersebut. Penerbitan antologi puisi Epilog Kota-Kota itu, sejatinya adalah buah dari komunitas diskursif hasil peserta Kelas Menulis Lesbumi yang diupayakan IPNU Kabupaten Cilacap bekerjasama dengan TPF. Kelas menulis yang diibaratkan bengkel itu menjadi oasis penumbuh calon penyair dari Cilacap mulai dari siswa sekolah menengah atas (SMA) yakni Ahmad Ngusman (18), santri seperi Daru Sima Suparman (25), Amar Khotami (23) serta mahasiswa dan mahasiswi dari Majenang dan kesugihan, Agus Nurfatony (25) dan Nayla Fitria (21). Karya-karya mereka juga dikuratori dan diapresiasi melalui kritik sastra oleh komunitas Tjlatjapan Poetry Forum (TPF) melalui Eko Triono yang karya-karya sastranya mendapat publikasi luas di berbagai media nasional. Penyunting buku tersebut dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata TBJT , Wijang J Riyanto mengatakan karya-karya para penyair muda Cilacap itu diupayakan keluar dari lingkungan sastra, untuk menemui dan berdialog dengan publik umum melakukan apresiasi dan baca puisi. Halaman rumah penyair Badruddin Emce di Jalan Kendeng 39, Kroya, pada Jum’at (28/5) lantas disulap menjadi panggung mini yang bersuasana khidmat dengan tiga sorot lampu, pendar bayang-bayang pohon yang rimbun dan ornamen kain Bali di dinding-dinding halaman. Malam itu, memang tak hanya pegiat-pegiat sastra yang terlibat dalam acara, tapi juga kalangan pesantren baik kyai dan santri, mahasiswa, wartawan juga penduduk sekitar. "Kegiatan di ruang terbuka itu, memang diupayakan oleh TBJT selaku penerbit dan TPF selaku fasilitator untuk memperluas ruang diskursif tak hanya sebatas kelompok sastra, tetapi menjadi bagian menuju cakrawala budaya masyarakat," kata Wijang pada Radar Banyumas di sela-sela kegiatan. Sampai saat ini, dalam gerakan literasi, TPF telah melahirkan beberapa buku sastra, dua diantaranya kumpulan puisi "Binatang Suci Teluk Penyu" (2007) karya Badruddin Emce dan "Untuk yang Mati dan yang Tak Bisa Mati" (2013) karya Alfiyan Harfi. Mereka secara berkala juga terbitkan buletin seni budaya "Cangkir" sejak tahun 2007 yang sasaran pembacanya siswa sekolah dan pesantren untuk membantu menyebarkan pengaruh bagi anak-anak muda untuk menulis, mengambil referensi, sebagai pemacu semangat dalam proses kreatif penulisan sastra. Berusia delapan tahun, dikatakan Eko Triono, TPF melawan arus modernisasi dan materialisasi dalam kehidupan yang makin praktis, yang cenderung bergerak cepat dan urban. "Tentu tidak mudah memang melakukan gerakan literasi selama 8 tahun," ujar Eko. Ditambahkan oleh Baruddin Emce, sepanjang 8 tahun tersebut, pertemuan-pertemuan sastra telah mereka gelar seperti pentas budaya dan sastra "Perjuangan Sastra Melawan Krisis" (2009) yang bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jawa Tengah. Terkait panggung sastra puisi Pendhapa #18 bertajuk Epilog Kota-Kota (2016) ia menyatakan bahwa sastra masih menjadi pilihan ekspresi anak-anak muda cilacap untuk menyampaikan pesan atau wacana yang berkaitan dengan Cilacap atau kedirian mereka sendiri. Dalam hal ini, setidaknya sastra menjadi wadah positif untuk menampung konsep moral sosial dalam konteks kehidupan dewasa ini. "Memang banyak para penulis muda di Cilacap yang datang dan pergi. Tapi setidaknya, dari 5 penyair muda yang ada saat ini, beberapa diantaranya suatu saat nanti bisa menjadi penulis yang membanggakan Cilacap," harap Badruddin. Pada akhirnya, melihat praktik kerja TPF yang berada di Kroya itu, TPF bisa dijadikan sebuah misal tentang ruang alternatif produksi sastra yang digarap dengan ketelatenan, keseriuasan, dan pemaksimalan peluang-peluang menyebar luaskan sastra baik melalui kerjasama lembaga negara atau komunitas publik. Tentu saja, optimisme TPF, perlu terus ada mengingat sastra memuat sikap kritis, analisis dan imajinatif untuk mengambarkan situasi kehidupan sosial, politik, ekonomi maupun kultural yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. (*/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: