SPSI Purbalingga Tak Yakin Penerapan UU Kesehatan Ibu dan Anak Sesuai Aturan

SPSI Purbalingga Tak Yakin Penerapan UU Kesehatan Ibu dan Anak Sesuai Aturan

PULANG KERJA: Buruh pabrik terlihat memadati Jalan Ahmad Yani Kandanggampang Purbalingga, Sabtu (25/6). Pekerja di Kabupaten Purbalingga didominasi oleh kaum perempuan. (AMARULLAH/RADARMAS) Terkait Pembahasan RUU KIA PURBALINGGA- Saat ini DPR RI sedang membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), menjadi Undang-Undang (UU). Namun Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kabupaten Purbalingga ragu saat penerapannya mendatang. Khususnya di salah satu poin yang membahas soal hak dan kewajiban cuti hamil bagi pekerja. “Kami ragu nanti kalau betul-betul menjadi UU realisasi dilapangan akan sulit, yang 3 bulan cuti hamilnya saja perusahaan berusaha untuk tidak melaksanakan. Misalnya dengan berbagai cara, dirumahkan dulu setelah masuk masa kerjanya dari nol lagi,” tutur Ketua SPSI Kabupaten Purbalingga. Mulyono, Minggu (26/6). Tak hanya itu, biasanya selama cuti hamil tidak terima upah pokonya. Masih banyak rekayasa. Bahkan jika ketahuan melapor akan terancam dipindah ke pekerjaan lain hingga pekerja bersangkutan mengundurkan diri. “Sebenarnya jika melaporkan kepada kami di SPSI, akan terbantu dan biasanya klir. Hanya saja, pekerja bersangkutan tetap berpotensi dipindah,” imbuhnya. Mulyono mengakui, adanya regulasi baru yang mengatur diantaranya hak cuti ibu hamil sangat menguntungkan ibu dan bayinya. Misalnya istirahat pemulihan yang cukup dan bayi saat diberikan ASI akan lebih optimal waktunya. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Aspindo) Purbalingga, Rocky Djunjungan mengingatkan, adanya RUU ini perlu dipertimbangkan lebih dalam lagi. Bukan hanya soal waktu saja, namun bagaimana efektifitas bagi pekerja. Apakah bisa menggugah semangat kerja lagi setelah istirahat yang terlalu lama. "Apakah dengan adanya tambahan cuti melahirkan jadi 6 bulan akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi pekerja perempuan dan juga karyawan?," tutur Rocky. Menurutnya, dalam membuat kebijakan seperti itu perlu melihat bagaimana kebijakan serupa di negara lain. Khususnya negara yang menjadi kompetitor pada sektor usaha yang sama. "Kita juga harus melihat kebijakan cuti di negara lain, negara kompetitor untuk barang-barang yang sejenis dengan ekspor kita. Kalau disini dianggap cuti itu terlalu lama, maka perusahaan akan mempertimbangkan kembali untuk berinvestasi disini atau sebaliknya," tegasnya kepada wartawan. https://radarbanyumas.co.id/dpr-perjuangkan-cuti-ibu-hamil-menjadi-6-bulan-dorong-ruu-kia-menjadi-uu/ Pertimbangan lain, harus melihat posisi pengusaha. Karena itu sudah berkaitan dengan jumlah produksi. Jika jumlah karyawan berkurang karena cuti, tentu akan berdampak pada produksi. Efeknya bisa saja tidak tercapai target produksi untuk pelanggan. "Cuti yang terlalu lama akan memaksa perusahaan untuk mencari pengganti posisi kosong itu. Lalu jika pekerja yang cuti kembali masuk kerja, manajemen pasti akan membandingkan produktifitas atas 2 orang yang berada diposisi sama," paparnya. (amr)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: