PJJ Kembali Makan Korban, Siswa SMA Bunuh Diri, Alarm Keras ke Pemerintah

PJJ Kembali Makan Korban, Siswa SMA Bunuh Diri, Alarm Keras ke Pemerintah

Petugas melakuan pemeriksaan jenazah pelajar. (FIN) JAKARTA - Peristiwa bunuh diri serupa kembali terjadi menimpa salah seorang siswa SMA di Gowa, Sulawesi Selatan pada Sabtu (17/10). Aksi nekat itu diduga akibat dari beban tugas daring yang menumpuk,sehingga membuat korban mengalami frustrasi. Korban bunuh diri diketahui adalah seorang siswa SMA di Gowa berinisial MI. Mirisnya, kejadian tersebut direkam langsung olehnya melalui video berdurasi 32 detik. https://radarbanyumas.co.id/kekerasan-terhadap-anak-naik-meningkat/ Menanggapi peristiwa tersebut, Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia Muhammad Ramli Rahim meminta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) segera mengevaluasi beban tugas bagi siswa selama pembelajaran jarak jauh (PJJ). "Seharusnya, kejadian bunuh diri oleh siswa di kabupaten Gowa ini menjadi alarm yang sangat keras kepada pemerintah untuk memperingatkan, bahwa masalah penugasan-penugasan ini adalah sesuatu yang sangat serius memberikan dampak depresi kepada siswa," kata Ramli di Jakarta, Senin (19/10). Ramli menegaskan, kasus seperti ini bukan yang pertama kali yang dapati pihaknya. Menurutnya banyak siswa yang mengalami stres akibat beban tugas yang masih memberatkan siswa di tengah PJJ. Belum lagi, kondisi itu diperparah jaringan internet yang tidak memadai. "Korban bunuh diri akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dari sekolahnya. Korban kerap bercerita pada teman-temannya perihal sulitnya akses internet di kampung, sulitnya akses internet di kediamannya menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk," ujarnya. Menurut Ramli, di tengah kondisi seperti ini, kepala sekolah dan guru konseling seharusnya berperan dalam mengukur beban yang dialami siswa ketika menerima banyak penugasan. Ia menyarankan, guru memetakan kemampuan siswa sebagai standar pemberian tugas. "Bantuan kuota tak bisa dijadikan satu-satunya solusi PJJ. Pemerintah hurusnya mempertimbangkan kemampuan jaringan internet dan ketersediaan gawai di daerah tersebut dan membantu kendala siswa yang kurang mampu.Dan semua itu seharusnya diatur dan dibuat standarnya oleh Kemdikbud," terangnya. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti menilai, ada kemungkinan motif lain di balik dugaan bunuh diri siswi di di Gowa, Sulawesi Selatan tersebut. Menurutnya, hal itu penting diungkap. Jika terbukti motif bunuh diri karena kendala PJJ, maka perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh dari PJJ di kabupaten Gowa oleh Dinas Pendidikan dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya. Untuk sementara, menurut Kasat Reskrim Polres Gowa AKP Jufri korban tersebut melakukan bunuh diri dengan meminum racun akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dari sekolahnya. Jika benar bahwa motif bunuh diri siswi tersebut adalah karena frustrasi dengan PJJ, maka siswi itu merupakan korban PJJ kedua yang meninggal setelah kematian siswa lain yang dianiaya oleh orang tuanya saat belajar jarak jauh. "Selain perlunya mengungkap kemungkinan motif lain, KPAI juga mendorong peran sekolah dalam membantu anak-anak yang mengalami masalah mental atau psikologis akibat pandemi COVID-19 yang telah berlangsung lebih dari 7 bulan," kata Retno. Retno pun menyarankan, kegiatan konseling di sekolah harus digalakan, khususnya selama pandemi. Konsultasi, katanya, dapat dilakukan guru bimbingan konseling kepada siswa melalui pesan singkat atau aplikasi komunikasi lainnya. "Kerap kali anak-anak hanya butuh didengar, ada saluran curhat selain ke sahabatnya. Bisa juga ke guru BK dan wali kelas agar dapat diberikan solusi yang tepat," ujarnya. Menanggapi peristiwa itu, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen), Jumeri mengungkapkan turut berduka cita atas meninggalnya korban berinisial MI berumur 16 tahun itu. "Sebenarnya kejadian serupa tak hanya terjadi saat PJJ. Ekses (peristiwa) sebuah perubahan (akibat Covid-19) selalu ada, di masa normal sebenarnya kejadian sejenis juga ada. Indonesia negeri luas dengan banyak disparitas," kata Jumeri. Jumeri mengklaim, baha Kemendikbud sendiri sudah meminta agar beban tugas kepada murid harus dikurangi. Namun dia menduga, bahwa penyederhanaan beban tugas para guru di sekolah tersebut tidak berjalan baik. "Kita sudah bimbing guru untuk tidak bebani siswa dengan tugas berat (banyak), (guru harus) bisa memahami kondisi psikologis siswa," ujarnya. "Implementasi kebijakan kita di lapangan memang sering tidak semulus yang kita bayangkan. Kami sudah sering berkordinasi dengan daerah untuk memastikan pelayanan berjalan baik," pungkasnya. PJJ masih berlangsung di sebagian besar sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat masih ada PJJ masih berlangsung di 1.840 sekolah di zona merah, 12.124 sekolah di zona oranye, 6.238 sekolah di zona kuning dan 764 sekolah di zona hijau. Sedangkan bantuan kuota gratis masih berlangsung hingga Desember. Bulan September lalu, kuota gratis diterima oleh 27.305.495 orang yang tersebar di 34 provinsi. Jumlah ini jauh dari jumlah total peserta didik dan pendidik yang tercatat di Data Pokok Pendidikan, yakni 64.034.292 orang. Artinya yang menerima bantuan kuota baru mencapai 42 persen. Kendala PJJ sendiri tak hanya terkait biaya kuota. Sejumlah siswa dan guru masih ada yang mengeluhkan tak punya gawai ataupun jaringan yang sulit di daerah tempat tinggalnya. (der/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: