Disorot, Wacana Presiden Bisa Menjabat 7 atau 8 Tahun
JAKARTA – Periode masa jabatan presiden sebagai kepala negara yang saat ini lima tahun diusulkan menjadi tujuh atau delapan tahun. Dengan catatan, hanya bisa satu kali menjabat. Pengamat menyangsikan. Kualitas seorang pemimpin tidak bisa diukur dari lamanya massa menjabat. Tetapi kejujuran dan keberpihakan terhadap rakyatnya. Akademisi Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin kepada Fajar Indonesia Network mengatakan, setiap masyarakat atau lembaga sah-sah saja mengusulkan suatu wacana. Hanya saja, persetujuan harus disepakati oleh presiden, DPR dan masyarakat. https://radarbanyumas.co.id/libur-panjang-lima-hari-pekan-depan-jokowi-jangan-berkerumun/ Menurutnya, jika dilihat dari besarnya biaya penyelenggaraan pesta demokrasi, hal itu tidak bisa dijadikan alasan. Menjadi hal wajar bagi negara demokrasi harus melakukan pemilihan. Ujang justru melihat Amerika. Negara Paman Sam tersebut dianggap paling ideal. Yakni periode empat tahun dan bisa dua kali menjabat. “Agak sulit nampaknya, jika melihat kinerja hanya berdasarkan masa jabatan. Jika pemimpin jujur, adil, tetapi menjabat hanya sebentar, itu menurut saya justru bisa dibilang berhasil,” terangnya, Senin (19/10). Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini melanjutkan, usulan masa presiden tujuh atau delapan tahun rasanya agak sulit diamini. Apalagi persetujuan harus melibatkan DPR. Tarik ulur kepentingan politik dipastikan akan terjadi. Ujang justru melihat dari karakter pemimpin. Saat ini Indonesia dinilai kurang memiliki sosok pemimpin yang negarawan. “Mereka mementingkan kelompoknya, golongannya. Bukan rakyat yang diutamakan. Padahal, ini kan utamanya. Saya rasa, ini yang saat ini tidak ada,” bebernya. Diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (Munas) 2020 mewacanakan akan membahas masa bakti presiden. Dalam sejumlah pemberitaan di media, petahana menjadi salah satu alasannya. Penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan dianggap paling berpotensi dilakukan oleh petahana. Ketidakadilan antara petahana dengan pendatang baru juga sering menjadi gesekan di masyarakat. Bagi pendatang baru, dirasa agak sulit untuk bertarung melawan petahana. Dengan masa jabatan satu kali, kandidat yang akan maju memiliki peluang sama. Tanpa menggunakan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki. Pandangan lain dikemukakan Pengamat Politik Nasional Emrus Sihombing. Menurutnya, soal rentang waktu dan massa jabatan adalah sebatas kesepakatan dalam bernegara yang dituangkan lewat Undang-Undang. Soal pemimpin, integritas justru kunci utamanya. Akademisi Universitas Pelita Harapan ini melanjutkan, dari sudut periodesisasi dan rentang waktu misalnya. “Kita bahas dari sudut periode. Kenapa dibuat dua periode? Periode pertama cenderung menata seluruh aspek pembangunan. Sedangkan periode kedua, adalah pengoptimalisasian dari periode pertama,” ujarnya. Ia melanjutkan. Alasan lain kenapa dua periode? Agar tidak menyimpang. Ia menegaskan. rentang waktu massa jabatan sangat objektif, dan subjektif. Tidak ada landasan filosofis. Bahkan tidak ada landasan ilmiahnya. Tidak ada landasan akademis. “Siapapun yang memberikan pandangan silakan saja. Keputusan terakhir ada di tangan rakyat dan harus diubah menjadi Undang-Undang,” tandasnya. (khf/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: