7 Jurnalis Jadi Korban pada Aksi Demo, Terluka dan Alat Dirusak Aparat Keamanan

7 Jurnalis Jadi Korban pada Aksi Demo, Terluka dan Alat Dirusak Aparat Keamanan

Foto Istimewa JAKARTA - Sebanyak tujuh jurnalis atau wartawan menjadi korban pada aksi demonstrasi berujung rusuh di Jakarta. Mereka terluka dan dirusak alat jurnalistiknya oleh aparat keamanan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat sebanyak tujuh jurnalis yang mengalami kekerasan dari aparat kepolisian. Hal tersebut terjadi saat para jurnalis tersebut meliput aksi demo mennolak UU Cipta Kerja, di Jakarta pada Kamis (8/10). "Ada tujuh jurnalis, namun jumlah ini bisa bertambah dan kami masih terus menelusuri dan memverifikasi perkara," kata Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung, Jumat (9/10). https://radarbanyumas.co.id/demo-tolak-omnibus-law-di-brebes-berakhir-ricuh-gas-air-mata-ditembakkan-beberapa-kali/ https://radarbanyumas.co.id/tindak-tegas-perusuh-seribu-diamankan-enam-polisi-masuk-rs-di-ibu-kota-jakarta/ Salah satu yang menjadi korban diantaranya Tohirin, jurnalis CNNIndonesia.com. Tohirin mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi. Dia mengaku tengah meliput demonstran yang ditangkap dan dipukul di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Meski telah menjelaskan ke polisi, namun tidak dipercaya. Polisi lantas merampas dan memeriksa galeri ponselnya. Polisi marah saat melihat foto aparat memiting demonstran. Akibatnya gawai yang digunakan sebagai alat liputan dibanting hingga hancur dan seluruh data liputannya turut rusak. "Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata Thohirin yang mengaku telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan "Pers" miliknya ke aparat. Pun dengan yang dialami wartawan Suara.com, Peter Rotti. Dia saat itu meliput di sekitar Jalan MH Thamrin. Dia merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran. Sesaat kemudian, seorang polisi berpakaian sipil serba hitam menghampirinya dan meminta kameranya. Rupanya Peter menolak karena merasa dirinya adalah jurnalis yang resmi meliput. Polisi lantas merampas kameranya. Ia lalu diseret, dipukul, dan ditendang sejumlah polisi hingga tangan dan pelipisnya memar. "Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya,” kata Peter. Ponco Sulaksono, jurnalis merahputih.com pun demikian. Dia bahkan sempat "hilang" beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui dibekuk polisi. Sulaksono kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Seorang jurnalis Radar Depok, Aldi, sempat merekam momen dia keluar dari mobil tahanan, Aldi yang bersitegang dengan polisi malah ikut dibawa. Polisi juga ikut menahan anggota pers mahasiswa yang meliput aksi, yaitu Berthy Johnry (anggota Lembaga Pers Mahasiswa Diamma Universitas Prof Dr Moestopo Beragama di Jakarta), Syarifah dan Amalia (anggota Perslima Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), Ajeng Putri, Dharmajati dan Muhammad Ahsan (anggota Pers Mahasiswa Gema Politeknik Negeri Jakarta). Mereka ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama anggota massa aksi lain. "AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 40/1999 tentang Pers," kata Tanjung. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (pasal 4 UU Pers). Dan bagi orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta (pasal 18 ayat 1). "Artinya, anggota kepolisian yang melanggar UU itu pun dapat dipidanakan. Kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan kepolisian kerap berulang. Aksi #ReformasiDikorupsi pun aparat mengganyang wartawan yang meliput," kata Tanjung. Namun hingga saat ini perkara itu tidak rampung meski telah melaporkan kasus itu ke polisi. Sedangkan sanksi etik Polri tak cukup untuk menghukum para terduga kekerasan. "Meski wartawan telah melengkapkan diri dengan atribut pers dan identitas pembeda di lokasi demonstrasi, tetap saja jadi sasaran amuk polisi. Dalih polisi 'kartu pers wartawan tak kelihatan', maupun rencana penggunaan pita merah-putih yang pernah diusulkan Polri sebagai pembeda, hingga kini tak terealisasi," tegasnya. Tanjung mengimbau pimpinan redaksi ikut memberikan pendampingan hukum kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan aparat. "Kami juga mendesak Kapolri membebaskan jurnalis dan jurnalis pers mahasiswa yang ditahan," kata dia. Menanggapi hal tersebut, Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono dalam aksi demo, sebenarnya aparat kepolisian tak hanya mengamankan jalannya aksi, tapi juga melindungi wartawan. Namun, jika situasi mulai chaos, anggota pun akhirnya fokus untuk melindungi dirinya. “Memang kita seharusnya menjunjung dan melindungi wartawan, tapi karena situasinya chaos dan anarkis anggota juga melindungi dirinya sendiri,” katanya. Dia mengingatkan antara personel kepolisian dengan wartawan juga harus saling bekerja sama di lapangan. Dia mengatakan, apabila mendapat intimidasi, wartawan tersebut harus bisa menunjukkan identitasnya. "Kita kerja sama, komunikasi di lapangan dan kemudian mempunyai identitas yang jelas, dilihat oleh teman-teman anggota. Sampaikan saja di sana bahwa saya seorang wartawan, saya ingin meliput," jelas Argo. Menurut Argo, seharusnya wartawan berada di belakang polisi saat meliput demo yang berujung rusuh. Argo memastikan para wartawan akan terlindungi jika berada di belakang polisi. "Kan nggak mungkin (wartawan) di depan anggota pada saat ada lempar-lemparan. Mereka pasti di belakang, bisa terlindungi oleh anggota itu sendiri," sebutnya. Argo menyebut pihaknya bakal melakukan pengecekan lebih dulu terkait penganiayaan jurnalis oleh aparat saat aksi demo. “Nanti kita akan kroscek dulu kejadiannya seperti apa, tapi setiap pengamanan kami sudah memberi imbauan dan mengingatkan semua agar tidak terjadi salah paham,” tuturnya.(gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: