Presiden Didesak Rumuskan Rancangan Perpres Pembatasan TNI Dalam Upaya Pemberantasan Terorisme

Presiden Didesak Rumuskan Rancangan Perpres Pembatasan TNI Dalam Upaya Pemberantasan Terorisme

Peneliti KontraS Rivanlee Anandar JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) merumuskan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) secara cermat dengan mengatur tentang batasan-batasan TNI dalam pemberantasan terorisme. Kewenangan TNI diharapkan hanya terbatas pada ranah penindakan ketika situasi sudah berada di luar kemampuan aparat keamanan yang berwenang. Peneliti KontraS Rivanlee Anandar menuturkan, Jokowi juga harus menggandeng DPR untuk melakukan check and balances dalam penerapan Perpres tersebut. "Berdasarkan ketentuan pasal 43 I ayat (3) Undang-Undang 05/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme oleh TNI diatur dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan pasal tersebut, Pemerintah sedang melakukan proses penyusunan draf Perpres untuk mengatur mengenai tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme," ujar Rivanlee dalam telekonferensi, Minggu (4/10). https://radarbanyumas.co.id/kontroversi-jabatan-eks-tim-mawar-kontras-desak-presiden-cabut-keppres/ https://radarbanyumas.co.id/keppres-bukan-perpres-istana-bantah-isu-pengangkatan-2-wamen/ Hanya saja, menurut Rivanlee, transparansi poses pembahasan perpres tersebut sangat minim. KontraS, kata dia, hanya memiliki draf perpres tertanggal 9 Mei 2019. Tentunya, kata dia, salinan tersebut memiliki banyak perbedaan dengan draf yang saat ini dibahas oleh pemerintah dan DPR. Berdasarkan draf versi 9 Mei 2019, KontraS mencatat adanya pemberian kewenangan yang terlalu luas kepada TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Hal ini tertuang dalam pasal 2 draf yang mengatur tugas TNI terdiri atas fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan. "Padahal, tugas TNI sebagai alat pertahanan negara seharusnya tidak masuk dalam fungsi-fungsi penangkalan dan pemulihan karena memang TNI tidak memiliki kompetensi khusus di bidang penangkalan dan pemulihan dalam konteks terorisme," ucap Rivanlee. KontraS memandang, fungsi-fungsi tersebut lebih tepat dialihkan kepada Badan Intelijen Negara, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, BNPT ataupun lembaga lainnya yang memiliki kompetensi khusus menyangkut terorisme. Tugas TNI seharusnya hanya dibatasi pada fungsi penindakan yang dilakukan apabila aparat penegak hukum sudah tidak mampu lagi mengatasi terorisme. "Dan harus dibatasi hanya atas perintah presiden setelah berkonsultasi dengan DPR RI, sebagaimana skema Operasi Militer Selain Perang (OMSP) diatur dalam UU TNI," kata Rivanlee. Dengan kondisi yang saat ini, kata Rivanlee, rancangan perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi terorisme sangat berpotensi menimbulkan peran militer yang terlalu luas. Sehingga tidak selaras dengan kondisi demokrasi dan perlindungan HAM. Perspektif masyarakat sipil, menurutnya, sangat dibutuhkan untuk memperbaiki perpres ini agar menjadi lebih baik. "Untuk itu, keterbukaan informasi dan akses untuk terlibat dalam pembahasan harus segera dibuka secepatnya dan seluas-luasnya baik oleh Pemerintah maupun DPR RI," tukasnya. Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Milda Istiqomah menilai, rancangan perpres pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme bersifat multitafsir. Ia menambahkan, batasan fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan yang akan diberikan kepada TNI juga tidak dirumuskan secara jelas. "Setelah kita baca drafnya, itu rancangan perpres TNI memuat banyak sekali norma-norma baru yang justru melampaui UU. Di situ ada 3 norma baru yang dikenalkan, penangkalan, penindakan dan pemulihan," kata Milda. Berdasarkan UU 5/2018, kata Milda, kewenangan pencegahan dan penindakan terorisme diberikan kepada dua institusi. Salah satunya BNPT. Upaya pencegahan yang menjadi kewenangan BNPT adalah kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Sementara, definisi fungsi penangkalan dalam draf perpres itu tidak dijelaskan secara gamblang. Fungsi tersebut hanya disebutkan secara singkat di pasal 3 bahwa penangkalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 2 huruf a dilaksanakan TNI melalui kegiatan atau operasi intelijen, teritorial, informasi, dan operasi lainnya. Selain itu, Milda menilai rancangan perpres juga berpotensi merusak criminal justice system lantaran belum ada hukum formil dan materil yang mengaturnya. "Kalau memang ada anggota TNI yang kemudian melakukan pelanggaran atas penindakan terorisme itu disidangkan di mana, diadili di mana, hukum acara pakai yang mana," ucap Milda. Sementara itu, Direktur Imparsial Al Araf menuturkan, draf perpres tersebut mengatur pasal-pasal yang bermasalah. Ia menilai, penanganan terorisme akan lebih mengedepankan war model apabila rancangan perpres disahkan. "Padahal undang-undang pemberantasan tindak terorisme lebih memilih model penanganan terorisme sistem penegakan hukum," ungkapnya. Fungsi TNI dalam perpres menurutnya telampau luas. Selain itu, menurut Al Araf, proses check and balances serta mekanisme penganggaran oleh pemerintah guna mendukung perpres tersebut juga menjadi persoalan. "Perpres akan menjadi masalah baru dalam konteks reformasi TNI dan akan menimbulkan kemunduran dalam reformasi jika perpres dengan substansi yang sekarang ini disahkan oleh DPR dan pemerintah," tandasnya. Diketahui, pemerintah dan DPR mulai membahas perpres pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme. Sejumlah poin krusial terdapat di dalam perpres itu, seperti visi dan misi terorisme, penggunaan anggaran, hingga penanganan teroris yang ditangani TNI atau Polri. (riz/gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: