Menkumham: Buron 17 Tahun, Maria Pauline Lumowa Bobol Kas Bank BNI Tahun 2003 Rp1,2 Triliun

Menkumham: Buron 17 Tahun, Maria Pauline Lumowa Bobol Kas Bank BNI Tahun 2003 Rp1,2 Triliun

17 TAHUN BURON : Maria Pauline Lumowa berhasil ditangkap setelah 17 tahun buron. Pelaku pembobolan Bank BNI ini terlacak di Serbia sejak 2019 dan berhasil diekstradisi ke Indonesia. JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberikan apresiasi atas penankapan Maria Pauline Lumowa yang dilakukan jajaran Kementerian Hukum dan HAM maupun Mabes Polri. Dari proses penangkapan ini ini, diharapkan sang buronan berani mengembalikan uang milik PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk (BNI) dan sebagai pintu masuk menangkap aktor dan buronan lainnya. ”Kami apresiasi atas kerja keras Kemenkumham maupun lembaga terkait. Mudah-mudahan selama proses hukum di Indonesia bisa membawa dampak, bahwa kerugian yang dialami oleh BNI bisa dikembalikan oleh tersangka,” ujar Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga, Kamis (9/7). Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Poyuono meyakini penangkapan buronan pelaku pembobolan Bank BNI Maria Pauline Lumowa merupakan pintu masuk bagi pemerintah Indonesia untuk menangkap lebih banyak buronan yang lari ke luar negeri. ”Ini skema awal yang baik. Keberhasilan ini menumbuhkan keyakinan pada publik. Artinya kemauan politik yang kuat dari pemerintah, menjadikan semua DPO atau buronan yang lari ke luar negeri bisa dipulangkan dan diadili,” timpal Arief Poyuono. Menurut dia, meskipun Indonesia dan Serbia belum punya perjanjian ekstradisi, keberhasilan itu tidak lepas dari permintaan Serbia yang dipenuhi Indonesia terkait dengan ekstradisi pelaku pencurian data nasabah Nikolo Iliev pada tahun 2015. ”Ini kan sebuah potret buruk terkait dengan kasus Harun Masiku dan Djoko Tjandra semestinya evaluasi mendasar buat perbaikan kinerja dan sistem keimigrasian yang dibangun dengan uang negara. Tapi ini langkah baik, layak diapresiasi karena setelah 17 tahun buronan pembobol BNI itu melarikan diri,” tandasnya. Ke depan, sambung dia, publik berharap sistem dan basis IT yang dibangun bisa dikelabui penjahat atau lebih jauh lagi. ”Ingat ya, jangan sampai sistem yang ada dijadikan tempat berlindungnya atau menjadi sarana para perencana kejahatan dan penjahat. Kemudahan teknologi harusnya untuk memitigasi dan mencegah segala bentuk manipulasi,” imbuhnya. Terpisah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan menyelesaikan proses ekstradisi terhadap buronan pelaku pembobolan Bank BNI sebesar Rp 1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa, dari pemerintah Serbia. Secara terpisah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebut bahwa jumlah uang yang dibobol oleh Maria Pauline Lumowa dari kas Bank BNI pada 2003 lalu sebesar Rp1,2 triliun. ”Beliau adalah seorang pembobol BNI dengan teman-temannya yang lain melalui L/C (Letter of Credit) fiktif yg terjadi pada tahun 2003 sebesar Rp 1,2 triliun,” ujar Yasonna dalam jumpa pers di Bandara Seokarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (9/7). Hal tersebut sekaligus meluruskan pemberitaan sebelumnya yang menyebut bahwa jumlah uang yang dibobol oleh Maria dari kas BNI sebesar Rp1,7 triliun, yang dikutip dari siaran pers Kementerian Hukum dan HAM terkait ekstradisi terhadap Maria Pauline pada Rabu (8/7). Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003 Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu. Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari "orang dalam" karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd, Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd, dan The Wall Street Banking Corp, yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI. Pada Juni 2003 pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri. Ekstradisi Maria Pauline Lumowa bukan akhir dari proses penegakan hukum terhadap buronan pembobol kas BNI tersebut. Ini disampaikan disampaikan oleh Yasonna dalam sesi konferensi pers ekstradisi Maria Pauline Lumowa di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Kamis (9/7). ”Kita akan mengejar terus. Bersama penegak hukum, kita akan melakukan asset recovery yang dimiliki Maria Pauline Lumowa di luar negeri. Kita akan menempuh segala upaya hukum untuk membekukan asetnya, termasuk memblokir akun dan sebagainya” ujar Yasonna. ”Semua itu bisa dilakukan setelah ada proses hukum di sini. Kita lakukan upaya-upaya ini, tetapi ini tidak bisa langsung. Semuanya merupakan proses, tetapi kita tidak boleh berhenti. Semoga upaya ini bisa memberikan hasil baik bagi negeri sekaligus menegaskan prinsip bahwa pelaku pidana mungkin saja bisa lari, tetapi mereka tidak akan bisa sembunyi dari hukum kita,” kata Menteri berusia 67 tahun tersebut. Dalam sesi konferensi pers, Yasonna sekaligus menjelaskan alasan hingga proses ekstradisi ini harus dipimpin langsung olehnya. ”Selama proses permintaan ekstradisi sejak tahun lalu, ada negara dari Eropa yang juga melakukan diplomasi agar Maria Pauline Lumowa tidak diekstradisi ke Indonesia. Pengacara juga melakukan upaya hukum, termasuk memberikan suap, tetapi Pemerintah Serbia tetap memegang komitmen kepada Indonesia,” ujar Yasonna. "Itu juga yang membuat saya harus memimpin delegasi Indonesia, untuk menunjukkan keseriusan bahwa Indonesia berkomitmen untuk tujuan penegakan hukum. Puncaknya adalah pertemuan saya dengan Presiden Serbia pada awal pekan ini untuk menegaskan proses ekstradisi Maria Pauline Lumowa,” katanya. Yasonna juga menyampaikan bahwa masa penahanan Maria Pauline Lumowa akan habis pekan depan. Itu sebabnya pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum meningkatkan intensitas percepatan ekstradisi ini selama sebulan terakhir. ”Semua ini kan memakan proses panjang. Karena Maria Pauline Lumowa adalah warga negara Belanda, ada lobi-lobi kepada pemerintah Serbia. Ada upaya yang intens dari salah satu negara untuk melobi agar yang bersangkutan tidak diekstradisi ke Indonesia,” kata Yasonna. ”Selain itu, Serbia juga merupakan negara hukum dan Maria Pauline Lumowa juga melewati proses pengadilan di sana. Yang bersangkutan pun melakukan upaya hukum untuk mencegah ekstradisi. Semua proses hukum ini harus kita penuhi. Tetapi, setelah kita lihat masa penahanan akan segera berakhir, bulan lalu kita menngkatkan intensitas lobi. Tarik menarik dan prosedur hukum ini yang sudah kita lalui,” ucapnya. Mengingatkan kembali, Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pembobolan kas BNI lewat Letter of Credit (L/C) fiktif senilai Rp 1,7 triliun. Maria Pauline Lumowa menjadi buronan penegak hukum Indonesia selama 17 tahun tahun terakhir setelah terbang ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus bentukan Mabes Polri. Pemerintah Indonesia sebenarnya dua kali mengajukan proses ekstradisi Maria Pauline Lumowa kepada Pemerintah Kerajaan Belanda pada 2009 dan 2014, namun dua kali itu pula ditolak. Permintaan ekstradisi diajukan kepada Pemerintah Belanda karena perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, tersebut didapati sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Maria Pauline Lumowa kemudian ditangkap oleh petugas NCB Interpol Serbia saat mendarat di Bandara Internasional Nikola Tesla pada Juli 2019. Penangkapan dilakukan berdasarkan red notice pada 2003. Begitu penangkapan tersebut diinformasikan, Kementerian Hukum dan HAM serta aparat penegak hukum Indonesia langsung mengajukan permintaan ekstradisi kepada Pemerintah Serbia yang disampaikan melalui surat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM. Surat itu bernomor Nomor AHU-AH.12.01-10 tanggal 31 Juli 2019. Surat ini kemudian disusul dengan permintaan percepatan proses ekstradisi yang disampaikan melalui surat nomor AHU-AH 12.01-22 tanggal 3 September 2019. Yasonna memastikan Indonesia akan mematuhi prosedur hukum yang berlaku dalam upaya menegakkan keadilan terkait kasus Maria Pauline Lumowa. ”Sebagai warga negara asing, tentu kita akan memberi akses kepada kedutaan besarnya sebagai bagian perlindungan terhadap warga negara mereka. Kita akan beri akses kepada yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia akan mematuhi standar prosedur hukum yang berlaku,” tutur Yasonna. Keberhasilan Yasonna sebagai ujung tombak pemulangan Maria Pauline Lumowa mendapat apresiasi dari Menkopolhukam Mahfud MD. ”Hari ini kita melihat Maria Pauline Lumowa bisa ditemukan dan dibawa kembali setelah menjadi buronan selama kurang lebih 17 tahun. Terima kasih kepada Menkumham Bapak Yasonna Laoly yang bekerja dalam senyap, termasuk melakukan komunikasi selama setahun ini dengan pemerintah Serbia,” kata Mahfud. ”Sejak lari dari Indonesia, selama itu pula kita mencarinya dan akhirnya bisa mengekstradisi Maria Pauline Lumowa sesudah melalui proses panjang dan diam-diam. Tidak ada yang tahu dan mendengar karena memang harus berhati-hati. Atas nama pemerintah Indonesia, saya juga menyampaikan terima kasih kepada pemerintah Serbia atas bantuan dan kerja sama dalam proses ekstradisi ini,” ujarnya. Sementara itu, Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo mengatakan penyidik Bareskrim Polri siap untuk memeriksa Maria Pauline Lumowa. ”Tentu siap dong. Bahkan persiapan itu dilakukan sebagai bagian dari penerapan protokol pencegahan Covid-19,” terang Komjen Pol Sigit. Persiapan mulai dari (pelaksanaan tes) swab sesuai standar protokol Covid-19 dan selanjutnya persiapan tim pendampingan/kuasa hukum dalam rangka pemeriksaan terhadap yang tersangka. "Tim Bareskrim ikut dalam penjemputan Maria Pauline Lumowa, setelah menerima penyerahan secara resmi dari menkumham sebagai pimpinan kegiatan ekstradisi," kata mantan Kadiv Propam Polri ini. Pauline Lumowa diekstradisi dari Serbia ke Indonesia pada Rabu (8/7). Keberhasilan proses ekstradisi itu tidak lepas dari diplomasi hukum tingkat tinggi dan hubungan baik antarkedua negara. Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu. Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI. Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri. Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura. Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda. Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019. (fin/ful)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: