Zona Hijau Merambah 104 Daerah, TBC Menjadi Ancaman di Tengah Pandemi

Zona Hijau Merambah 104 Daerah,  TBC Menjadi Ancaman di Tengah Pandemi

Dewi Nur Aisyah, Tim Pakar Gugus Tugas Nasional JAKARTA - Gugus Tugas Nasional melakukan pemutakhiran data zonasi risiko daerah. Hasilnya mengesankan. Terdapat 104 kabupaten dan kota yang terdaftar dalam zona hijau atau wilayah tanpa kasus Covid-19. Meski terdapat penurunan, masyarakat kembali dibuat cemas dengan merebaknya Tuberculosis (TBC) yang disebabkan kuman mycobacterius tuberculosis. Tim Pakar Gugus Tugas Nasional Dewi Nur Aisyah mengatakan, data yang dihimpun hingga Minggu (5/7) terdapat 104 wilayah administrasi di tingkat kabupaten dan kota berada pada zona hijau. Pengertian wilayah dengan zona hijau yaitu daerah yang pernah ditemukan kasus positif Covid-19 kemudian berhasil menekan laju penyebarannya dan daerah yang sama sekali tidak pernah ditemukan kasus positif. ”Data yang kita analisis merupakan data terakhir. Ada 43 kabupaten-kota yang sudah berhasil masuk ke dalam zona hijau setelah sebelumnya terdampak Covid-19 namun selama empat pekan terakhir sudah tidak ditemukan kasus positif Covid dan angka kesembuhan mencapai seratus persen,” papar Dewi saat konferensi pers di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, Selasa (7/7). Nah, 43 kabupaten dan kota tersebut yakni Provinsi Aceh dengan wilayah Aceh Barat Daya, Pidie, Simeleu, Gayo Lues dan Bener Meriah, Provinsi Sumatera Utara di Labuhan Batu, Provinsi Jambi pada wilayah Bungo, Tanjung Jabung Timur, Tebo dan Merangin. Selanjutnya Dewi yang juga pakar epidemiologi mengatakan selain 43 derah yang berhasil masuk zona hijau, terdapat 61 daerah yang hingga Minggu lalu (5/7) tidak terdampak Covid-19. ”Ada 61 kabupaten/kota yang sampai hari ini tidak tercatat adanya kasus positif Covis-19 di wilayah tersebut. Ini juga termasuk daerah-daerah di Indonesia yang harus kita jaga agar daerahnya tidak terdampak Covid-19 dan senantiasa dalam kondisi yang sehat dan tidak ada infeksi penularan di wilayahnya,” jelasnya. Dalam kesempatan itu Dewi juga mengumumkan 36 wilayah beralih dari zona risiko sedang menjadi zona risiko rendah per 5 Juli 2020. Pada posisi ini, terdapat pertambahan persentase zona hijau atau wilayah tanpa kasus sebanyak 20,2 persen dari seluruh 514 kabupaten dan kota di Indonesia. Sedangkan persentase zona risiko lain, sebesar 34 persen berada di zona risiko rendah, yang ditandai warna kuning, 35 persen zona risiko sedang, atau warna oranye dan 10,7 persen zona risiko tinggi, atau warna merah. ”Per tanggal 5 Juli 2020 terdapat 61 kabupaten/kota yang tidak terdampak, 43 kabupaten/kota masuk ke dalam zona hijau di mana tidak ada kasus baru, 175 kabupaten/kota dengan risiko rendah, 180 kabupaten/kota dengan risiko sedang, dan 55 kabupaten/kota dengan risiko tinggi,” tutur Dewi. Perpindahan zona risiko Covid-19 di Indonesia tidak hanya dirasakan oleh 36 kabupaten/kota yang berpindah dari zona risiko sedang menjadi rendah saja, lebih lanjut Dewi mengumumkan bahwa terdapat 17 kabupaten/kota beralih dari zona risiko tinggi ke sedang. Sebanyak 10 kabupaten/kota dari zona risiko rendah ke hijau atau tidak ada kasus, dan 38 kabupaten/kota beralih dari zona risiko rendah ke sedang. Dewi juga mengingatkan bahwa Covid-19 merupakan sebuah penyakit yang sangat dinamis sehingga memiliki pergerakan yang begitu cepat. ”Kita dapat melihat pergerakan yang begitu cepat. Kasus positif berubah menjadi sembuh, kemudian orang yang sebelumnya ODP (atau) PDP kemudian terkonfirmasi menjadi positif. Sebuah daerah dengan cepat juga terjadi perubahan, dari zona risiko tinggi turun menjadi sedang, atau dari rendah naik menjadi sedang, dan lain sebagainya,” ucap Dewi. Laporan analisis mingguan data Covid-19 yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas PPC-19 dapat diakses melalui laman resmi Gugus Tugas, yaitu covid19.go.id. Di mana di dalamnya nanti, publik dapat melihat berbagai analisis mingguan, yaitu di antaranya adalah perubahan angka kasus positif dan angka kematian, laju insidensi per 100.000 penduduk maupun angka kematian per 100.000 penduduk. ”Termasuk pula distribusi kasus positif berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur, perkembangan pemetaan zonasi risiko daerah, risiko kematian pasien positif Covid berdasarkan kondisi penyerta maupun kelompok umur, perkembangan seluruh provinsi di Indonesia beserta kabupaten/kota,” ujar Dewi. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Wiendra Waworuntu menambahkan, Tuberculosis (TBC) atau yang sering dikenal dengan TB merupakan penyakit paru-paru yang disebabkan oleh kuman mycobacterius tuberculosis. TBC menjadi sangat dikenal di Indonesia dengan kasus penyebaran yang sangat tinggi. ”Kita ranking tiga di dunia. Ada India, Cina, kemudian Indonesia,” ungkap Wiendra. Menurut data Kemenkes, estimasi kasus TBC di Indonesia mencapai 845.000 jiwa dan yang telah ditemukan sekitar 69 persen atau sekitar 540.000 jiwa. Angka kematian penyakit TBC juga cukup tinggi, yaitu ada 13 orang per jam yang meninggal karena TBC. Kasus yang belum ditemukan juga memiliki potensi penularan yang sangat tinggi, sama seperti Covid-19. Walaupun sama-sama berbahaya dan menular melalui droplet serta saluran pernapasan, Wiendra menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan antara TBC dengan Covid-19, mulai dari gejala hingga cara penanganannya. ”Penularannya (TBC dan Covid-19) sama-sama droplet. Namun perbedaannya adalah pada diagnosisnya. Kalau Covid-19 dari virus, sedangkan TBC dari kuman atau bakteri,” ujarnya. Selanjutnya pada gejala, Wiendra menjelaskan gejala TBC antara lain onset atau serangan kronik lebih dari 14 hari dengan gejala demam kurang dari 38 derajat celcius disertai batuk berdahak, bercak darah, sesak napas memberat bertahap, berat badan turun dan berkeringat di malam hari. Sedangkan gejala Covid-19 antara lain dengan gejala onset akut kurang dari 14 hari disertai demam lebih dari 38 derajat celcius dengan batuk kering, sesak napas muncul segera setelah onset, nyero sendi, pilek, nyeri kepala, gangguan penciuman atau pengecapan. Proses diagnosis TBC dan Covid-19 juga memiliki kesamaan dengan menggunakan metode Tes Cepat Molekuler (TCM) dan Polymerase Chain Reaction (PCR), namun perbedaannya ada pada pengambilan sampelnya. Untuk diagnosis Covid-19 harus melalui swab, sedangkan TBC cukup dengan dahak saja. Selain itu, perbedaan besar antara Covid-19 dengan TBC adalah Covid-19 belum ada obat yang dapat menyembuhkan, sedangan TBC sudah ditemukan obatnya dan dapat diakses secara gratis. ”Covid-19 belum punya obat, sedangkan TBC sudah ada obatnya, dengan catatan harus dikonsumsi dengan baik dan patuh,” terangnya. Walaupun memiliki obat dalam membantu penyembuhan, masih banyak masyarakat yang menyepelekan penyakit TBC karena dianggap merupakan penyakit lama. Sehingga kurang memperhatikan kedisiplinan pada proses penyembuhan melalui konsumi obat yang telah tersedia, sehingga para penderita TB menjadi resisten atau obatnya sudah tidak mempan lagi dengan penyakit TBC tersebut. ”Ketika sudah mengkonsumsi, lalu stop, lalu nanti minum lagi. Jadi sembuhnya tidak betul-betul sembuh sempurna,” kata dia. Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pembina Stop TB Partnership Indonesia Arifin Panigoro menjelaskan tantangan penyakit TBC yang telah didapati Indonesia sejak lama dan sekarang ditambah dengan adanya pandemi Covid-19, membuat semua pihak harus bekerja sama dengan keras untuk mengatasi potensi penularannya. Terlebih penyakit TBC juga tidak boleh digampangkan karena jumlah penderitanya tidak sedikit. ”Sebelum ada Covid-19, penyakit TBC ini sudah serius di Indonesia. Masalah TBC ini besar tetapi atensi dari siapapun, dari pemerintah dan masyarakat dianggap ini penyakit lama yang sudah selesai,” ungkap Arifin. Arifin juga menegaskan bahwa partisipasi masayarakat sangat diperlukan dalam menekan potensi penularan Covid-19 maupun TBC itu sendiri serta semua pihak harus bekerja lebih keras dalam penanganan covid-19 yang masih berlangsung saat ini namun ada pekerjaan yang belum selesai terkait penanganan TBC. (fin/ful)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: