Bawaslu Petakan Kelemahan, KPU Minta Rp 5 Triliun

Bawaslu Petakan Kelemahan, KPU Minta Rp 5 Triliun

Plt Dirjen Politik dan PUM Kemendagri Bahtian memberikan penjelasan terkait sikap optimisme yang diambil pemerintah mendukung menyelenggarakan Pilkada 9 Desember.(SYAIFUL AMRI/FIN) Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak pada 9 Desember JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengkalkulasi kebutuhan anggaran tambahan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember sekitar Rp5 triliun. Kalkulasi ini dihitung dari penambahan TPS, dan KPPS sebagai upaya pengurangan risiko berkumpulnya pemilih di tengah kondisi bencana non alam (Covid-19). Pada posisi inilah Bawaslu menyebut, muncul malpraktik pelaksanaan hingga penurunan angka partisipasi publik. Ketua KPU RI Arief Budiman mengatakan, hitungan itu pun muncul disertai APD yang dibutuhkan bagi penyelenggara yang terlibat. Maka besaran anggaran yang ada butuh dukungan dari dari pemerintah daerah dan pusat. ”Jika sebelumya satu TPS 800 pemilih, maka Pilkda Desember mendatang, satu TPS hanya dibatasi 500 pemilih,” papar Arief dalam webinar yang diselenggarakan Jaringan Demokrasi Indonesia (JADI) Sulut, Selasa (9/6). Maka dengan waktu yang mulai mendekati tahapan 15 Juni, maka KPU berharap daerah segera memberlakukan laporan terkait ketersediaan anggaran. ”Ada satu hal yang akan didesain ulang yakni soal anggaran. Awalnya ini akan dibahas hari Kamis (11/6) dengan Kemenkeu dan jajaran, tapi harus tertunda sepertinya,” ungkapnya. Saat ini, sambung Arief, KPU sedang menyusun Rancangan Peraturan KPU tentang Pilkada dalam kondisi bencana nonalam dengan mendasarkan pada dua hal. Pertama Kepres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19. Kedua melaksanakan ketentuan Pasal 122A ayat (3) Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada Menjadi Undang-Undang yang menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan diatur dalam Peraturan KPU. ”Selain prosedur untuk setiap tahapan Pemilihan, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota melakukan prosedur tambahan yang mengatur mengenai kegiatan bertatap muka secara langsung atau yang menimbulkan kontak fisik secara langsung antara penyelenggara pemilihan dengan pemilih,” paparnya. Hadir dalam forum diskusi tersebut Ketua Bawaslu Abhan. Ditegaskannya, acaman terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat menjadi risiko yang harus menjadi perhatian khusus bagi peserta, pemilih termasuk penyelenggara Pemililu. Kekhawatiran ini pun belum cukup. Dengan sinyal terdegradasiya kualitas penyelenggaraan tahapan. ”Bahkan situasi situasi pandemi Covid-19 yang tak menentu, berpotensi menimbulkan malpraktik dalam penyelengarannya,” terangnya. Kendala lain, terjadi dalam penegakan hukum pemilihan. Ada tiga hal yang menjadi perhatian yakni jangka waktu proses penanganan pelanggaran yang berbeda dengan Pemilu, proses klarifikasi, hingga jangka waktu penyelesaian sengketa. ”Bukannya Bawaslu pesimistis, sebaliknya optimistis jika kekhawatiran yang ada juga menjadi perhatian bagi semua pihak,” jelasnya. Abhan juga menyinggung soal kendala anggaran pembiayaan pemilihan di tengah kondisi pandemi Covid-19. Ini dicermati dengan relokasi anggaran untuk penanganan covid-19, sampai ketersediaan anggaran pasca covid-19 (Defisit Anggaran). ”Kemampuan keuangan daerah bervariasi, penyalahgunaan program, kebijakan dan anggaran penanganan Covid-19 juga berbeda. Tentunya kondisi ini pun mempengaruhi kendala dalam penegakan hukum,” ungkapnya. Di tengah kondisi ekonomi yang tengah sulit, Bawaslu pun meyakini akan terjadi mal praktik dan besarnya angka money politics. ”Potensi mal praktik, manakala tidak tersosialisasi dengan baik protokol kesehatan. Misalnya ada yang datang calon pemilih, tidak menggunakan masker. Lalu diklaim melanggar protokol kesehatan dan tidak boleh memilih oleh petugas, ini jelas pelanggaran. Kondisi ini bisa memicu ketegangan. Belum lagi kita bicara money politics, ada yang mencari keuntungan. Terbukti beredarnya bansos dengan maksud lain yang dilakukan incumbent,” ungkapnya. Terkait anggaran, hasil pemetaan Bawaslu, hanya tidak provinsi yang menyanggupi APBD untuk kelengkapan APD atau alokasi protokol Covid-19. ”APBD tiga provinsi itu seperti Sulut. Bengkulu, dan Kepri. Sedangkan enam provinsi lainnya minus untuk itu,” ungkapnya. Penegasan serupa pun disampaikan Ketua DKPP Muhammad Alhamid. Pada posisi apa pun baik normal maupun kondisi pandemi, moral dan integritas penyelenggaran menjadi zero toleran. ”Tidak netral memihak pasangan calon, lebih baik akhiri saja pengabdian. Prespektif etika dan kode prilaku inilah yang terus dikedepankan. Jadi jangan main-main dan coba-coba,” terangnya. Pada posisi ini, DKPP hadir tidak mencari masalah-masalah. Maka DKPP pun tak bosan memperingatkan kepada penyelenggaran untuk berada pada posisi netral. ”Jangan ada yang menang tapi beda yang dilantik. Jangan pula ada yang berani lagi bicara boleh menang di TPS tapi siapa yang selametan. DKPP menegaskan siapa pun yang menang itu yang dilantik,” timpalnya. Sementara itu Plt Dirjen Politik dan PUM Kemendagri Bahtian menjelaskan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) Pemerintah, DPR RI, bersama Penyelenggara Pemilu telah mengambil keputusan bahwa 27 Mei 2020, pelaksanaan Pilkada serentak pada 270 daerah tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020 dengan menggunakan protokol Covid-19, tanpa ada opsi lain. Ini pun dilanjutkan pada RDP Pemerintah, DPRI RI bersama Penyelenggara Pemilu pada 3 Juni 2020. ”Opsi yang ada tetap dilaksanakan dan diterapkan protokol kesehatan Covid-19. Soal anggaran tentu saja memerlukan adanya penyesuaian kebutuhan, ini berkaitan dengan jumlah TPS sebanyak 500 pemilih per TPS yang harus diatur secara baik,” terangnya. Pemenuhan anggaran melalui sumber APBN, dengan memperhatikan kemampuan APBD masing masing daerah. Pada posisi ini pun, tetap mengedepankan efisiensi dalam penyesuaian kebutuhan anggaran penyelenggaraan Pilkada. ”Keputusan politik bersama antara KPU, Pemerintah dan DPR RI disepakati bersama memilih opsi optimis. Keputusan ini pun sebagai etalase kedewasaan bangsa Indonesia dalam berdemokrasi, dan menunjukkan kepada dunia bahwa kita siap untuk berdemokrasi dalam kondisi Pandemi seperti negara-negara lain di dunia internasional, keberlangsungan pemilu secara terjadwal menjadi penentu indeks demokrasi (democracy index) dari sebuah negara,” paparnya. Indeks ini setiap tahun dilansir oleh Economist Inteligent Unit (EIU). Indeks demokrasi selanjutnya dipakai oleh berbagai negara di dunia dan lembaga-lembaga internasional, termasuk oleh para investor, dalam menilai sebuah negara. ”Ini pun mengurangi praktek kepemimpinan pemerintahan daerah yang terlalu banyak dipimpin oleh Pejabat Sementara/Pelaksana Tugas yang memiliki kewenangan terbatas sedangkan kondisi pandemi membutuhkan pemimpin yang kuat dengan legitimasi dari masyarakat,” ungkap Bahtiar. (fin/ful)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: