Indonesia Masih Defisit Transaksi Berjalan 2020

Indonesia Masih Defisit Transaksi Berjalan 2020

JAKARTA – Pengusaha kelapa sawit menyampaikan kekhawatirannya volume ekspor minta kelapa sawit ke pasar Asia Selatan, seperti Pakistan dan India mengalami penurunan yang cukup dalam. Karenanya pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) agar pemerintah menjaha ekspor sawit di pasar Asia. Direktur Eksekutif Gapki, mukti Sardjono mengungkapkan, bahwa negara India merupakan importir terbesar minyak sawit Indonesia, sedangkan Pakistan keempat setelah Cina dan Uni Eropa (UE). Namun belakangan ini, ekspor minyak sawit ke Indonesia mengalami penurunan menjadi 6,7 juta ton pada 2018, dari realisasi ekspor 2017 yang mencapai 7,6 juta ton. Sedangkan volume ekspor minyak sawit Indonesia ke Pakistan mencapai 2,5 juta ton. Kondisi demikian sangat mengkhawatirkan bila tidak dijaga pemerintah. Pengusaha sendiri tidak terlalu berharap masalah diskriminasi industri sawit Indonesia yang dilakukan oleh UE segera selesai. Saat ini, diketahui pemerintah Indonesia sedang berupaya keras melakukan perlawanan perlakuan diskriminasi UE terhadap produk kelapa sawit Tanah Air. “Ini mengkhawatirkan, karena sampai dengan Oktober 2019, volume ekspor kelapa sawit Indonesia baru mencapai 3,7 juta ton,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, kemarin (12/1). Dia menilai penyebab penurunan volume ekspor produk minyak sawit tidak lepas dari kebijakan bea masuk di India yang lebih tinggi terhadap minyak sawit Indonesia dibandingkan dengan Malaysia. Namun kebijakan tersebut kini sudah diubah dan tarifnya sudah sama dengan Negeri Jiran itu. Namun ada permasalahan baru, yakni pemerintah India mengeluarkan kebijakan melarang impor produk olahan minyak sawit. Mukti sendiri tidak menjelaskan alasan India menerapkan kebijakan tersebut. Alhasil kebijakan tersebut tentu saja akan merugikan Indonesia di tengah usaha Indonesia memperjuangan diskriminatif produk sawit Indonesia oleh UE. “Yang pasti, kebijakan pelarangan impor produk olahan minyak sawit dapat merugiakn ekspor produk olahan minyak sawit Indonesia,” kata mukti. Harapan Gapki, pemerintah bisa menjaga kinerja ekspor di pasar Asia, tak hanya India dan Pakistan, namun juga Bangladesh. Pada 2018 lalu, ekspor minyak sawit Indonesia ke Bangladesh mencapai 1,4 juta ton. Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Jerry Sambuaga menegaskan akan terus melawan perlakuan diskiriminatif UE terhadap produk kelapa sawit Indonesia. Jerry menyebutkan, dia akan terbang ke Jenewa, Swiss pada 28 Januari 2020 mendatang guna mencari solusi terbaik dalam kasus diskriminatif kelapa sawit Indonesia ini dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). ‘Kita tidak terima perlakuan diskriminatif. Ini murni bagaimana isu ini melihat soal kedaulatan kita dari treatment luar,” ujar Jerry. Dia menyatakan, pemerintah Indonesia akan terus melawan tindak diskriminatif UE terhadap pelarangan biofuel berbahan dasar kelapa sawit sebagai energi yang dianggak tidak ramah lingkungan, di mana ekspornya akan dihentikan secara bertahap sejak 2020 hingga 2030. Oleh karena itu, kata dia, seluruh instansi di tubuh pemerintah Indonesia bersinergi memperjuangan hak ekspor kelapa sawit ke Benua Biru itu. Namun ada permasalahan baru, yakni pemerintah India mengeluarkan kebijakan melarang impor produk olahan minyak sawit. Mukti sendiri tidak menjelaskan alasan India menerapkan kebijakan tersebut. Alhasil kebijakan tersebut tentu saja akan merugikan Indonesia di tengah usaha Indonesia memperjuangan diskriminatif produk sawit Indonesia oleh UE. “Yang pasti, kebijakan pelarangan impor produk olahan minyak sawit dapat merugiakn ekspor produk olahan minyak sawit Indonesia,” kata mukti. Harapan Gapki, pemerintah bisa menjaga kinerja ekspor di pasar Asia, tak hanya India dan Pakistan, namun juga Bangladesh. Pada 2018 lalu, ekspor minyak sawit Indonesia ke Bangladesh mencapai 1,4 juta ton. Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Jerry Sambuaga menegaskan akan terus melawan perlakuan diskiriminatif UE terhadap produk kelapa sawit Indonesia. Jerry menyebutkan, dia akan terbang ke Jenewa, Swiss pada 28 Januari 2020 mendatang guna mencari solusi terbaik dalam kasus diskriminatif kelapa sawit Indonesia ini dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). ‘Kita tidak terima perlakuan diskriminatif. Ini murni bagaimana isu ini melihat soal kedaulatan kita dari treatment luar,” ujar Jerry. Dia menyatakan, pemerintah Indonesia akan terus melawan tindak diskriminatif UE terhadap pelarangan biofuel berbahan dasar kelapa sawit sebagai energi yang dianggak tidak ramah lingkungan, di mana ekspornya akan dihentikan secara bertahap sejak 2020 hingga 2030. Oleh karena itu, kata dia, seluruh instansi di tubuh pemerintah Indonesia bersinergi memperjuangan hak ekspor kelapa sawit ke Benua Biru itu. “Kita koordinasi lintas sektor antar kementerian/lembaga. kami semua solid. Semua sudah sepakat, rulenya di kami, Kemendag sebagai ujung tombak,” ujar dia. Adapun perlawanan Indonesia terhadap diskirminasi komoditas kelapa sawit oleh UE, Indonesia memberlakukan larangan ekspor bijih besi yang berlaku pada 1 Januari 2020 kemarin. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes pemerintah Indonesia kepada UE. “Itu bagian dari bargaining kita kompain ke Uni Eropa. Kita ladenin saja,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartato.(din/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: