Menelisik Sejarah Puasa Ramadhan

Dosen Pendidikan Bahasa Arab, UMP, Khoirin Nikmah, M.A.--
Oleh: Khoirin Nikmah, M.A.
(Dosen Pendidikan Bahasa Arab, UMP)
Ramadhan ibarat tamu istimewa, kehadirannya yang hanya satu tahun sekali tentunya senantiasa dinanti dan dirindukan oleh jutaan umat muslim dari berbagai belahan dunia. Bagaimana tidak? Bulan ini layaknya mutiara yang begitu berbeda dengan sebelas bulan lainnya. Betapa istimewanya bulan Ramadhan, hingga disebut sebagai syahrun karim (bulan yang mulia), syahrun mubarak (bulan yang diberkahi), syahrur rahmah (bulan yang penuh rahmat), syahrul maghfirah (bulan yang penuh ampunan). Bahkan, Rasulullah SAW menyebutnya sebagai sayyidus syuhur (penghulunya bulan/ bulan yang paling agung).
Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thabrani : "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, sayyidus syuhur (penghulu segala bulan). Maka selamat datanglah kepadanya. Telah datang bulan shaum membawa segala rupa keberkahan. Maka alangkah mulianya tamu yang datang itu."
Secara etimologi, Ramadhan memiliki akar kata رمض (ramidha) yang mana merujuk pada makna terik, sangat panas, karena bulan ini terjadi pada hari-hari yang teramat panas. Selain itu, kata ini juga menyiratkan makna reflektif, yakni momentum untuk membakar atau menghapus dosa-dosa dengan memperbanyak amal shaleh.
Adapun amalan utama yang diwajibkan bagi umat muslim di bulan Ramadhan adalah berpuasa. Sebagaimana diperintahkan di dalam Al quran surat Al Baqarah ayat 183 yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Melalui ayat ini, kiranya dapat kita pahami bahwa Allah SWT secara eksklusif menyerukan puasa, khusus bagi orang-orang yang beriman (muslim) saja. Perintah ini juga sekaligus mengabarkan bahwa tidak hanya umat Nabi Muhammad SAW saja yang diperintahkan untuk berpuasa, namun orang-orang terdahulu juga menjalankan puasa. Lantas, siapakah umat terdahulu yang dimaksud?
Tradisi berpuasa telah bermula sejak zaman Nabi Adam AS. Tatkala melanggar perintah Allah SWT, Ia diturunkan ke bumi dan dipisahkan dari Hawa. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi Adam kemudian memperbanyak taubat selama ratusan tahun. Atas rahmat Allah SWT, ia kembali dipertemukan dengan Hawa (istrinya) di Jabal Rahmah, Arafah. Sebagai ungkapan syukur, Nabi Adam kemudian berpuasa pada tanggal 10 Muharram.
Kisah tentang Nabi Nuh AS dan kaumnya yang selamat dari banjir bandang juga terjadi di bulan Muharram. Allah SWT telah memberikan mukjizat kepada Nabi Nuh berupa kemampuan membuat sebuah bahtera yang mampu menerjang banjir yang begitu besar dan hujan yang begitu lebat. Di tanggal 10 Muharram, kapal Nabi Nuh berlabuh di Gunung Judi, Turki. Sebagai wujud syukur karena telah diselamatkan dari musibah yang maha dahsyat, Nabi Nuh AS pun menjalankan puasa.
Selain itu, dikisahkan pula bahwa Nabi Yunus AS berpuasa selama berada di dalam perut ikan paus. Selama 40 hari berada di dalam perut ikan, Ia memperbanyak taubat dan berdoa. Atas izin Allah SWT, di bulan Muharram, Ia pun selamat lantaran dimuntahkan oleh paus dan dapat kembali bertemu dengan kaumnya. Kisah lain tentang puasa di bulan Muharram (Asyura) juga dilakukan oleh Nabi Musa AS. Allah SWT menenggelamkan Firaun dan bala tentaranya di laut merah tatkala mengejar Musa AS dan kaum Bani Israil. Mereka tidak saja diselamatkan dari kejaran Firaun yang dhalim, mereka juga memperoleh tempat tinggal di bumi Palestina. Sebagai wujud syukur atas rahmat Allah SWT, maka Nabi Musa AS pun melaksanakan puasa di bulan tersebut.
Selanjutnya, terdapat kisah Nabi Ibrahim AS yang diselamatkan dari kobaran api. Tatkala Raja Namrud membakar Nabi Ibrahim AS, Ia dalam kondisi berpuasa. Allah SWT kemudian memerintahkan api menjadi dingin, sehingga Ia selamat dari kekejaman Raja Namrud. Adapun puasa Tarwiyah dan Arafah juga merupakan wujud puasa sunnah yang dianjurkan bagi umat muslim sebagai momentum memperingati kisah Nabi Ibrahim AS tatkala diuji oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya yang bernama Ismail AS.
Melalui kisah para Nabi lintas zaman di atas, kiranya dapat diambil hikmah bahwa umat muslim yang saat ini berpuasa sunnah Asyura, Tarwiyah, dan Arafah merupakan cerminan dari puasa yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebagai wujud syukur dan penghambaan diri kepada Allah SWT. Puasa tersebut bukan menjadi kewajiban, namun disunnahkan.
Oleh karena itu, di tahun ke-2 Hijriyah, Allah SWT menurunkan surat Al Baqarah ayat 183 yang berisi tentang perintah puasa. Ayat ini turun tatkala Nabi Muhammad SAW berada di Madinah. Dengan turunnya ayat ini, maka dimulailah puasa wajib bagi umat muslim sebagai pembeda dari umat sebelumnya. Seyogyanya, kita patut bergembira karena masih diberikan kesempatan untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan tahun ini. Di momentum yang istimewa ini, mari kita bermuhasabah, menjalankan puasa dengan sebaik-baiknya, dan meluruskan niat lillahi ta’ala. Kita tidak pernah tahu, akankah tahun depan dapat kembali berjumpa dengan Ramadhan? Wallahu a’lam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: