Risiko Tinggi Pawang Hewan Buas Taman Satwa Taru Jurug Solo

Risiko Tinggi Pawang Hewan Buas Taman Satwa Taru Jurug Solo

SERING DIGIGIT: Agus Purwanto memberikan pakan untuk harimau dan singa di TSTJ dengan cara disuapi. Anak buaya berumur satu tahun koleksi TSTJ yang sehari-hari dirawat Suparyanto. A.CHRISTIAN/RADAR SOLO Setiap profesi pasti ada risikonya. Tapi, untuk pekerjaan satu ini, tidak banyak orang yang berani menekuninya. Karena taruhannya nyawa. Paling ringan, tubuh bisa terluka. A.CHRISTIAN, Solo WISNU Ari Widodo, 35, baru saja keluar dari ruang pakan Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ). Tangannya menjinjing ember berisi buah-buahan segar. Dia lalu melangkah ke kandang beruang madu. Melihat kedatangan Wisnu, dua ekor beruang yang berada di kandang besi langsung berdiri. Seperti tak sabar menyantap menu favoritnya. Buah segar. “Cara pendekatan saya memang seperti ini. Biar akrab saya pakai pakan, apa kesukaannya, itu yang kita carikan. Sering berinteraksi. Saya punya prinsip (hewan, Red) jangan sampai dipukul. Kalau kita sayang, dia juga sayang,” ujar pawang beruang. Terbukti, selama empat tahun menjadi keeper di TSTJ, warga RT 03 RW 13 Kelurahan Pucangsawit, Kecamatan Jebres ini tidak pernah mendapat serangan dari hewan yang dirawatnya. “Alhamdulliah, sejauh ini belum pernah mendapat serangan. Mungkin karena saya anggap mereka sebagi teman. Ada ikatan batin. Beda kalau kita memandang mereka sebagai satwa. Cuma dikasih makan, kandangnya dibersihkan, setelah itu ditinggal,” tutunya. Awal masuk TSTJ, Wisnu sebagai petugas kebersihan. Kemudian menjadi penyodor atau petugas yang menggantikan apabila keeper asli sedang tidak bekerja. Lalu dia fokus di beruang madu karena ada salah satu anakan beruang akrab dengannya. Pengalaman berbeda dialami Suparyanto. Di TSTJ, dia bertugas mengurus sembilan buaya dan enam ular. Meski sudah dekat dengan reptil, bukan berarti bahaya tidak mengancam. Dia beberapa kali sempat diserang hewan buas tersebut. Kuku ibu jari sebelah kanan tanggal hingga sebanyak tiga kali karena digigit buaya berusia satu tahun. “Karena masih kecil, saya suapi pakai tangan. Tak tahunya jari saya digigit. Untung masih kecil, jadi cuma kukunya saja yang copot,” ujar dia. Sebagai keeper, pria 55 tahun ini juga bertanggung jawab dengan kebersihan kandang. Kesulitannya, tidak ada sekat di kandang buaya dan ular. Sehingga ketika membersihkan kandang harus berhadapan langsung dengan hewan buas. Kadang kalanya satwa bisa anteng, tapi ada pula yang agresif. Menurutnya, ada masa tertentu reptil menjadi agresif. Yakni saat musim kawin pada Maret hingga Agustus. “Puncak birahinya Juni atau Juli. Sebelum bersihkan kandang, kita perhatikan dulu hewanya. Ketika buka pintu kandang, ada respons penolakan atau tidak. Biasanya, saat birahi mereka mendekat dengan posisi menyerang. Tatapan matanya seperti menantang,” beber Suparyanto. Di luar musim kawin, keeper buaya dan ular tetap waspada saat memberikan pakan atau bersihkan kandang. Minimal berjarak dua meter dari posisi hewan. Sebab, insting pemangsa bisa datang kapan saja. Serangan hewan buas juga pernah dialami Agus Purwanto,45, pawang harimau TSTJ. Beberapa kali tangannya harus dijahit karena kena gigitan si raja hutan. Wajar, itu karena untuk memberi pakan tidak dilemparkan ke kandang, tapi disuapkan ke mulut harimau menggunakan tangan dari balik jeruji besi. “Itu cara pendekatanya. Makan kita suapi. Jadi seperti merawat anak. Kita mandikan, kita bersihkan kandangnya. Kadang kalau kasih pakan kita ajak ngobrol. Kalau marah kita tanya kenapa marah, seperti itu saja, jadi ada ikatan,” urainya. Agus menjadi pawang harimau sudah 21 tahun. Meski merasa sudah ada ikatan batin dengan harimau yang dirawatnya, bukan berarti insting hewan buasnya hilang. Beberapa kali dia seakan hendak diterkam harimau sumatera jantan ketika lewat depan kandanganya. “Dulu bersahabat. Tapi, sejak (kandang, Red) dipindahkan dan sedikit saya paksa, jadi seperti dendam,” tutur dia. Pernah pula Agus digigit siamang yang berusaha kabur dari kandang dan harus mendapat jahitan cukup banyak. Dia pun diliburkan selama sepekan. “(Serangan, Red) itu kesalahan saya. Waktu menutup pintu pengaman tidak terlalu sempurna. Siamang berusaha keluar kandang. Saya tidak tahu apa menyerang atau mengajak bercanda, tapi tetap saja berbahaya,” kenangnya. Mencegah terjadi hal lebih parah, Agus refleks memegang kepala siamang dan menutup matanya. Setelah itu, dia pelan-pelan menuju pintu keluar lalu melepaskan siamang.   Apakah hal tersebut membuatnya trauma atau kapok? Agus menganggap itu sebagai risiko pekerjannya. Dia mengaku tak menyimpan dendam. “Yang jelas kita harus hafal kapan hewan marah, kapan dia sedang senang,” tutur dia. (*/wa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: