Lokasi Abu Sayyaf Diketahui

Kamis 31-03-2016,11:05 WIB

JAKARTA- Keberadaan sandera 10 ABK Kapal tugboat Brahma 12 sudah mulai mendapat titik terang. Militer Filipina disebut sudah mengetahui titik lokasi kelompok Abu Sayyaf menyembunyikan tawanan asal Indonesia tersebut. "Ada di wilayah Filipina. Mereka (Militer Filipina.red) sudah tahu lokasinya, setiap saat memantau," ujar Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo usai acara penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi Tahun Pajak 2015 di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta kemarin (30/3). Tapi sayangnya, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu mengaku pihaknya belum mengetahui secara detail lokasi tersebut dari pihak Filipina. Dia memastikan, otoritas negara yang berada di utara Sulawesi itu akan memantau terus keberadaan dan aktivitasnya. Dia juga terus melakukan komunikasi intensif dengan Panglima tentara Filipina, Jenderal Irriberri. Dalam kesempatan tersebut, Gatot juga menegaskan jika TNI belum memberangkatkan alutsista apapun ke wilayah Filipina. Sebab hingga saat ini, Filipina belum meminta bantuan kekuatan militer kepada Indonesia. Sementara memasukkan alutsista ke negara lain buka perkara mudah. Namun Jenderal bintang empat itu memastikan semua prajurit TNI berada dalam kondisi siap jika sewaktu-waktu dibutuhkan. "Siapnya bagaimana, itu adalah urusan saya. Siapnya bagaimana adalah urusan saya," kata Gatot dengan suara meninggi. Disinggung soal wacana Tarakan yang digunakan sebagai tempat pangkalan operasi pembebasan, Gatot langsung membantah hal tersebut. Menurutnya, di Tarakan memang ada pangkalan Angkatan Laut yang selalu siaga di sana setiap waktunya. Selain itu, lanjutnya, di Tarakan saat ini juga tengah ada latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) TNI. Dia menegaskan jika latihan tersebut merupakan latihan rutin tahunan yang tidak berkaitan dengan penyanderaan WNI. "Di mana tempat latihannya, itu tergantung saya," tuturnya. Dari hasil koordinasi, Jenderal kelahiran Tegal itu juga menerangkan, militer Filipina masih meneliti fraksi mana yang melakukan penawaran. Sebab, diketahui Abu Sayyaf memiliki banyak fraksi dan sempalan. Sedangkan kontribusi Indonesia dalam penelitian itu sebatas memberi informasi yang berkaitan dengan kelompok tersebut. "Sama seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri. Prioritas kami adalah menyelamatkan WNI,” terangnya. Sementara itu, Pengamat Hubungan Internasional Teuku Rezasyah mengatakan bahwa kasus pembajakan kapal batubara dengan awak kapal WNI cukup pelik. Hal tersebut dikarenakan Fillipina memang belum punya pengalaman kerjasama dengan Indonesia untuk penanganan pembajak. Hal tersebut dinilai menjadi aspek yang membuat kedua pihak berhati-hati. ’’Saya tentu mendukung opini agar pemerintah tak melakukan negosiasi terkait tuntutan tebusan. Saya juga yakin pihak TNI cukup kompeten untuk melakukan operasi penyelamatan. Bahkan, kabarnya mereka pun sudah siap armada dan personel. Permasalahannya ada dalam aspek kedaulatan Filipina,’’ ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin. Dia menegaskan, kasus perompakan sekaligus penyanderaan terjadi di perairan Filipina. Jadi, tak mungkin kekuatan militer Indonesia meluncurkan aksi seenaknya. Tindakan tersebut bisa saja dinilai melanggar kedaulatan wilayah Filipina. ’’Di sisi lain, Filipina sepertinya juga tak bisa menangani kasus ini sendiri. Karena itu, mungkin sedang dirancang operasi berasama pada dua negara. Operasi ini pun saya rasa akan dilakukan dengan ekstra hati-hati. Jangan sampai ada kesan militer Filipina ada di belakang Indonesia. Karena ada isu kedaulatan dan kebanggaan negara dalam hal tersebut,’’ ujarnya. Kedepannya, dia mengaku bahwa isu perompakan harus diangkat ke tingkat ASEAN. Memang, Indonesia telah menginisiasi penangan isu perompkan dengan kerjasama Malsindo (Malaysia Singapura Indonesia) di Selat Malaka. Namun, hal itu belum sampai pada tingkat regional. ’’Indonesia perlu mengangkat isu ini pada KTT ASEAN paling dekat. Paling tidak ada code of conduct terkait penanganan perompak jika hal seperti ini terjadi lagi. Sehingga, aksi tidak membutuhkan persiapan yang lama,’’ ungkapnya. Dari internal, dia mengaku bahwa pemerintah perlu membuktikan komitmen penguatan perbatasan. Hal tersebut karena perompak banyak menggunakan wilayah pesisir yang jauh dari pengawasan sebagai markas atau persinggahan. Menurutnya, jika kesejahteraan warga perbatasan membaik, toleransi terhadap pelaku ilegal akan berkurang. ’’Warga-warga yang termarginalisasi di perbatasan terkadang tak punya cara lain kecuali mengakomodir oknum-oknum tersebut. Karena dari merekalah mereka bisa hidup. Jadi, penguatan wilayah pesisir adalah langkah nyata yang bisa dilakukan,’’ imbuhnya. Rencana militer Indonesia untuk menggelar operasi penyelamatan sandera di Filipina Selatan mendapat peringatan dari mantan instruktur Kamp Hudaibiyah Ali Fauzi.’’Diupayakan dulu soft approach seperti negosiasi dengan pembajaknya,’’ ucap tokoh senior Jamaah Islamiyyah tersebut. Menurutnya, jika gegabah maka operasi penyelamatan sepuluh sandera tersebut bisa berakhir dengan air mata. ’’Sebaiknya melakukan koordinasi yang baik dengan tokoh-tokoh setempat,’’ paparnya. Sejauh ini, imbuh Ali Fauzi yang pernah tinggal lama di Filipina Selatan, belum ada track record upaya penyelamatan sandera di Filipina Selatan dengan militer yang berjalan seratus persen sukses. Selalu ada korban, termasuk pihak sandera. Salah satu yang paling terkenal adalah penculikan 20 wisatawan di kawasan wisata Dos Palmas pada Mei 2001. Selama setahun, terjadi negosiasi yang kemudian berakhir dengan operasi pembebasan. Hasilnya tidak terlalu melegakan. Martin Burnham tewas, seorang pastor Filipina dipenggal, dan hanya Gracia yang selamat. Peringatan Ali Fauzi memang beralasan. Dari pengalaman wartawan Jawa Pos yang pernah lebih dari sebulan melakukan penelusuran di Mindanao, hal ini disebabkan karena alam dan medannya yang tidak bersahabat. Sebagai perbandingan, perburuan kelompok Santoso cs di Gunung Biru saja secara besar-besaran belum menampakkan hasil menggembirakan. Bagaimana dengan Mindanao? Yang secara de facto, militer maupun polisi Filipina tak memiliki kontrol sepenuhnya atas kawasan tersebut. Banyak pos-pos penjagaan polisi maupun militer yang lokasinya jauh dari markas besar yang kosong. ’’Tak akan berani, sebab mereka akan jadi sasaran empuk kami,’’ ucap seorang gerilyawan MILF yang selalu menemani Jawa Pos kemana-mana kala itu. Dia mengeluhkan banyaknya pos penjagaan yang kosong. ’’Karena mereka (pos penjagaan polisi dan militer terluar, Red) biasanya menjadi sasaran latihan raid (serangan) kami,’’ ucapnya, kemudian terkekeh. Sebagai ilustrasi, wartawan Jawa Pos pernah mendaki ke Kamp Bushra, kamp pelatihan militan paling besar di Mindanao. Dari jalan paling terpencil di kota Marawi, menuju Kamp Bushra harus menembus hutan lebat. Saking lebatnya, ketika masuk siang hari saja, suasana di hutan seperti petang hari. Yang berbahaya bukan itu saja, banyak sekali booby trap (perangkap alam dan ranjau) yang disebar. Jika masih belum cukup, ada lagi banyak rawa-rawa dengan luas seperti dua kabupaten. Seperti di kawasan Liguasan Marsh. Mendirikan kamp di sana, sama seperti mendapat benteng alam. Tak mungkin mendekat tanpa diketahui oleh para penjaga yang telah ditempatkan. Situasi dan kondisi alam memang tak menguntungkan bagi pihak luar yang ingin melakukan operasi militer di dalam. Jadi, mustahil masuk tanpa ada penunjuk dari orang dalam. Selain itu, jauhnya perjalanan juga menjadi kendala tersendiri. Butuh waktu lebih dari 15 jam berjalan untuk sampai ke kamp. Dari gambaran itu, tentu saja sulit untuk menemukan satu titik kecil tempat para sandera ditawan tanpa petunjuk lokasi yang cukup kuat. Untuk itu, Ali Fauzi menyarankan kepada pemerintah untuk benar-benar menyiapkan dengan serius upaya penyelamatan sandera tersebut. ’’Banyak sekali variabel yang harus dihitung. Dan terutama, harus mendengarkan petunjuk orang yang telah menguasai kawasan tersebut,’’ katanya.  (ano/far/bil/acd) JUDUL sAMBUNGAN: Militer Filipina Pun Belum Berkuasa Sepenuhnya

Tags :
Kategori :

Terkait