Pro Investasi Haruskah Hanya Pro Perempuan
Pabrik rambut di Purbalingga menyerap puluhan ribu tenaga kerja. Tapi, jumlah pekerja lelaki yang terserap bisa jadi kurang dari sepuluh persen. Kini ngetrend sebutan kaum Pamong Praja alias Papah Momong Mamah Kerja.
PAGI masih diselimuti kabut. Waliman, lelaki 40 tahun, warga Desa Klapasawit Kecamatan Kalimanah, sudah memanaskan sepeda motor miliknya. Sepeda motor hitam kesayangannya itu keluaran tahun 2012 lalu. "Hasil kredit," katanya singkat, pekan lalu.
Sudah lima tahun terakhir, Waliman seakan tak absen dari rutinitas paginya. Memanaskan sepeda motor untuk mengantar sang istri berangkat kerja. Istrinya, sebut saja bernama Rahayu, tercatat sebagai seorang buruh pabrik rambut di Purbalingga.
Kesibukan Waliman setiap pagi kini bertambah. Anak bungsunya sudah masuk sekolah. Waliman harus mengantarkan anaknya ke sekolah dulu, baru setelah itu mengantar sang istri ke tempat kerja. "Jalurnya tak searah, padahal keduanya sudah harus masuk jam tujuh pagi," kata dia.
Waliman mengaku pantang anaknya terlambat masuk sekolah. Jangan sampai anaknya yang baru berumur 6 tahun tertinggal pelajaran meski sekejap. Bagi lelaki dengan kerja serabutan itu, pendidikan penting untuk masa depan.
"Tapi saya juga tak mau terlambat. Bisa kena potong gaji," imbuh Rahayu. Walhasil, sang anak harus berangkat dari rumah sekitar jam enam pagi lebih sedikit.
Waliman dan istrinya itu dikarunia dua orang anak. Yang sulung sudah duduk di bangku SMK. Untuk yang bungsu ini, menurut Waliman, dia sejak kecil yang mengurusnya. "Si kecil baru berumur setahun saat ibunya diterima kerja di pabrik rambut," kata dia.
Waliman mengaku menikmati saat dirinya harus momong atau mengasuh anak. Toh semua keperluan anak sudah disiapkan sang istri. Tapi memang untuk urusan ganti celana anak yang ngompol ataupun BAB, Waliman yang menangani. "Paling sampai jam setengah enam sore," katanya.
Lelaki yang biasa dipanggil Bonjol itu mengaku tidak ada masalah dengan istrinya. Dan ketika istri libur juga sepenuhnya anak kembali jadi tanggungjawab istri.
Kisah bapak seperti Saliman di Desa Klapasawit, Kalimanah, Purbalingga banyak terjadi. Di desa itu hampir seratus perempuan yang sudah berkeluarga bekerja di pabrik rambut dan bulu mata.
Itu memunculkan pemandangan khas setiap hari. Suami momong atau mengurus anak kecilnya ketika istri pamitan berangkat kerja ke pabrik.
Kepala Desa Klapasawit, Ngudi Wiesmantoro mengatakan, memang muncul sebutan khas seperti Pamong Praja alias Papah Momong Mamah Kerja. "Banyak sekali di Klapasawit atau bahkan di Purbalingga ini," kata dia. Dia mengatakan, Pamong Praja yang satu ini bukannya tanpa resiko atau persoalan. Menurut Ngudi, namanya lelaki tentu beda dengan perempuan kalau untuk momong anak. Tak sedikit para bapak itu yang justru asyik dengan urusannya sendiri saat momong anak. "Yang repot itu momong sambil asyik ngopi dan ngerokok di warung. Belum lagi kalau sambil main kartu," katanya.
Anak kecil yang terus bersama sang bapak dan melihat kegiatan sehari- hari tersebut, tentu akan mudah mengadopsi atau meniru kelakuan bapaknya. "Ini yang bikin miris. Dan jujur saja kami khawatir," kata Ngudi.
Belum lagi dari sisi sosial lainnya. Kerap pemerintah desa harus berupaya menenangkan sepasang suami istri yang meminta perceraian. Namun, Ngudi mengaku tak bisa menyebutkan berapa pasang suami istri yang bercerai karena persoalan Pamong Praja itu.
Tak sedikit pula perempuan pekerja pabrik lebih mengutamakan pekerjaannya dan cenderung tidak suka bergaul dengan tetangga. "Harus diakui kalau kerja itu capai. Mereka jadi jarang bersosialisasi atau aktif di kegiatan rukun tetangga atau kegiatan desa," ujar Ngudi.
Namun yang bikin "iri", para pekerja pabrik itu selalu siap dan ikut di setiap kegiatan pabrik. Entah hari apa atau jam berapapun. "Terus terang kami miris dan sangat prihatin. Tak hanya menjadikan suami menjadi pemomong anak, banyak hal yang dinomorduakan," katanya. Ngudi meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga mau serius menghadapi persoalan semacam ini
Di tempat lain, di Desa Kedungbenda Kecamatan Kemangkon, Purbalingga. Jumlah warga yang bekerja di pabrik rambut juga mencapai ratusan. Di Dusun 1 desa tersebut, ada 45 Kepala Keluarga (KK) yaang istrinya bekerja di pabrik rambut.
Kepala Dusun 1 Kedungbenda Aswan mengatakan, di lingkungannya sudah menjadi hal biasa ketika laki- laki ataupun suami hanya bertugas mengantar anak sekolah SD atau TK. Beberapa juga ada yang momong anak, meski hanya sebentar dan kemudian anak dititipkan ke kakek maupun neneknya.
"Sekarang mulai bergeser, dulu bapak yang momong anak balita, namun dalam beberapa tahun terakhir anak dititipkan ke orangtuanya. Sedangkan suami atau laki- lakinya di sawah dan hanya momong sebentar,” ungkapnya. Meski begitu, Aswan meminta pro investasi yang digaungkan Pemkab Purbalingga tak berarti tak selalu pro perempuan. "Kasihan kaum lelakinya," kata dia.
36 Pabrik Rambut
Jumlah pabrik rambut palsu di Kabupaten Purbalingga memang banyak. Untuk kabupaten dengan luas 777 km2 itu, tercatat ada 18 pabrik rambut yang merupakan penanaman modal asing. Dan, 18 lagi pabrik rambut skala besar dengan penanaman modal dalam negeri.
Jumlah tersebut belum termasuk 260 buah plasma rambut yang tersebar di banyak desa. Plasma rambut ini ialah semacam home industry rambut palsu. Nanti mereka menyetor ke pabrik-pabrik rambut besar.
Satu pabrik rambut di Purbalingga, paling sedikit mempekerjakan dua ribu buruh. Ada pula yang jumlah pekerjanya mencapai 5 ribu hingga 7 ribu orang. Untuk satu plasma rambut, sedikitnya bisa merekrut 150 pekerja.
Namun, penyerapan tenaga kerja yang besar ini tak diiringi dengan meratanya lapangan pekerjaan bagi seluruh gender. Sebab, pabrik yang memproduksi bulu mata palsu dan rambut palsu tersebut lebih banyak menyerap pekerja wanita dibandingkan laki-laki.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Purbalingga Ir Gunarto mengatakan, lowongan terbanyak memang hanya untuk pekerja wanita, dibanding laki-laki. "Mungkin hanya lima persen saja, perusahaan tersebut mempekerjakan tenaga kerja laki-laki," jelasnya.
Sayangnya, sampai saat ini Dinas Tenaga Kerja Purbalingga belum memiliki data yang lengkap tentang berapa jumlah tenaga kerja di pabrik-pabrik rambut itu. Dinas beralasan pendataan pasti sulit dilakukan karena tak sedikit pula pekerja rambut yang keluar masuk.
Namun, tingginya serapan tenaga kerja wanita tersebut, menurut Gunarto, terlihat dari jumlah pencari kerja wanita yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Dia mengatakan, di tahun 2016 lalu, dari 14.574 pencari kerja yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja, 8.596 pencari kerja diantaranya adalah pencari kerja wanita. Sedangkan, pencari kerja laki-laki hanya berjumlah 5.978 orang.
Dia mengaku tak tahu apa penyebab lebih banyak pekerja wanita dibanding laki-laki yang ada pabrik-pabrik tersebut. "Kemungkinan karena pekerjaan di pabrik bulu mata palsu dan rambut palsu lebih mengutamakan ketelitian," katanya.
Di bagian lain, Djarot Shopian Hadi dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Purbalingga, mengatakan, hingga saat ini jumlah investasi yang masuk masih didominasi oleh pabrik bulu mata dan rambut palsu. Baik, investasi berupa pengembangan pabrik yang sudah ada mau pun pabrik baru.
"Tahun ini, kami menargetkan yinvestasi baru sebesar Rp 500 miliar, sesuai dengan arahan bupati. Mudah-mudahan ada investasi besar yang bisa menjadi jawaban atas minimnya lapangan pekerjaan bagi laki-laki," imbuhnya.
Bupati Purbalingga H Tasdi MM mengakui fenomena Papah Momong Mamah Kerja (Pamong Praja) memang mengganggunya. Tapi dia mengaku tak bisa memaksa pabrik rambut untuk menyerap tenaga kerja laki-laki. "Itu tentu disesuaikan kebutuhan mereka," katanya. Saat ini yang paling bisa dikerjakan ialah mencari investasi besar lainnya di luar pabrik rambut. "Ini yang sedang kami gagas terus. Harap sabar, saya jadi bupati kan belum setahun," imbuh dia.
Pabrik rambut yang ada di Purbalingga sendiri memilih tertutup mengenai hal ini. Mereka keberatan ketika diwawancarai soal banyaknya serapan tenaga kerja perempuan.
Radarmas hanya berhasil mewawancarai seorang HRD di pabrik rambut palsu dan bulu mata palsu yang ada di Purbalingga, Irwanto. Dia mengatakan, sebenarnya lowongan untuk tenaga kerja di pabrik mereka tak dikhususkan untuk wanita saja.
Namun, karena pekerjaan di pabrik mereka membutuhka ketelitian tinggi, maka tenaga wanita lebih banyak dibutuhkan karena lebih telaten dibandingkan tenaga kerja pria.
Tenaga kerja pria hanya dibutuhkan di beberapa pos, seperti packing atau pun pergudangan. "Ada juga yang masuk di sektor produksi, tapi jumlahnya memang tidak banyak," kata dia sembari meminta nama pabriknya yang mempekerjakan 3 ribu pekerja itu tak dikorankan. (amr/tya/dis)