PURBALINGGA - Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari mengatakan, Semua orang menjadi penulis. Saat menjadi nara sumber seminar Lokalitas dalam Kreativitas Penciptaan Karya Sastra di Bale Apoeng Purbalingga, Kamis (19/5), dia mengungkapkan, kata kunci pertama dalam dunia tulis menulis adalah proses.
"Siapa saja yang memproses diri untuk menjadi penulis, amat besar kemungkinannya bisa mencapai apa yang ditujunya," ujar penulis trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk ini. Menurutnya, panjang tidaknya proses untuk jadi penulis tergantung intensitasnya.
Jika prosesnya intens maka waktu yang tidak lama seseorang bisa berkembang menjadi penulis, dan sebaliknya. "Ada pepatah lama yang berbunyi asa bisa karena terbiasa. Ini berlaku di dunia tulis-menulis. Jadi bakat itu hanya satu persen, yang 99 persen adalah keringat, proses, kemauan," ujarnya.
Dia menjelaskan, langkah pertama untuk menjadi penulias adalah membaca. Penulis harus punya bekal pengetahuan yang banyak, tak terkecuali penulis fiksi. Langkah itu, ditempuh dengan banyak membaca. Setelah itu, mulai praktik membuat tulisan yang harus dilakukan secara terus-menerus pula.
"Menulis karya fiksi berangkat dari sebuah gagasan yang datang dari keinginan dan keterpanggilan untuk menyampaikan atau membincangkang sesuatu dengan orang banyak," ungkapnya. Menurutnya, untuk mendapatkan ide itu, penulis harus mengembangkan sifat peka dalam dirinya.
Kepekaan itu ibarat antena yang mampu menangkap sesuatu dan mengubah menjadi inspirasi. "Ide itu bisa di mana saja tak terkecuali di sekitar kita. Dengan sifat peka itu akan mengubah apa yang kita dengar, kita lihat dan kita rasakan menjadi inspirasi menulis. Inspirasi itu lalu dibangun menjadi dunia nyata dalam imajinasi yang kemudian dituliskan," ujarnya.
Terkait lokalitas dalam karya sastra, guru besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Prof Suminto A Sayuti mengatakan, karya nasional maupun internasional merupakan bentuk dari tema-tema lokalitas yang diangkat dalam karya sastra.
Budaya lokal memiliki kekuatan yang dahsyat dalam karya sastra. Contohnya novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, atau Pengakuan Pareyem karya Linus Suryadi AG termasuk Seribu Kunang-Kunang Di Manhattan karya Umar Khayam. Bahkan sastrawan dunia pun mengangkat lokalitas yang ada di negaranya.
"Di Purbalingga, banyak sekali budaya lokal banyumasan yang sangat kuat karakternya jika dituliskan menjadi karya sastra. Tinggal kita di sini bisa dan mau atau tidak untuk menuliskannya," imbuhnya. (tya)