CILACAP, RADARBANYUMAS.CO.ID - Kasus dugaan korupsi pengadaan lahan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Cilacap Segara Artha (CSA) terus menyita perhatian publik.
Usai jaksa membeberkan adanya pembagian fee senilai Rp 11,5 miliar kepada sejumlah pejabat daerah, kini giliran elemen masyarakat sipil yang menyoroti kejanggalan dalam perkara tersebut.
Koordinator LSM Seroja, Ekanto Wahyuning Santoso menegaskan, proses hukum harus berjalan secara transparan dan menyeluruh.
Ia menilai masih banyak fakta yang belum diungkap, terutama terkait sisa dana fee senilai Rp 5,4 miliar yang belum dijelaskan secara terbuka oleh penegak hukum.
"Sejak awal pembentukan PT CSA sudah menunjukkan adanya kejanggalan. Proses pengesahan Raperda menjadi Perda pendirian BUMD itu terkesan terburu-buru dan sarat kepentingan," ujarnya, Selasa (7/10/2025).
Dalam dakwaan Jaksa di Pengadilan Tipikor Semarang, dua pejabat Pemkab Cilacap disebut menerima aliran dana hasil korupsi, masing-masing sebesar Rp 4,3 miliar dan Rp 1,8 miliar. Namun, masih terdapat dana sebesar Rp 5,4 miliar yang belum diketahui ke mana mengalirnya.
Meski demikian, jaksa tidak merinci siapa saja penerima lain di luar dua pejabat yang telah disebut dalam dakwaan. Sementara itu, sisa dana proyek sekitar Rp 230 miliar disebut digunakan untuk kepentingan pribadi oleh mantan Direktur PT CSA, terdakwa ANH.
Ekanto menilai fakta tersebut janggal dan meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah untuk menelusuri aliran dana yang belum terungkap.
Ia menduga, masih ada oknum lain yang turut menikmati hasil korupsi tersebut, termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam pembahasan perda pendirian BUMD.
"Kalau benar dana itu dialokasikan untuk pejabat, maka patut diduga ada pihak lain yang ikut menikmati. Penegak hukum harus berani menelusuri dan membuka semuanya secara terang," tegasnya.
Selain itu, LSM Seroja juga mendesak pemerintah daerah untuk menjadikan kasus ini sebagai momentum memperbaiki tata kelola BUMD di Cilacap.
"Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran berharga. BUMD jangan sampai dijadikan alat kepentingan politik atau bisnis segelintir orang," pungkas Ekanto. (jul)