PURWOKERTO, RADARBANYUMAS.CO.ID - Guru Besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum., menjadi narasumber dalam seminar bertajuk Pergantian Kekuasaan dari Masa ke Masa. Seminar ini diselenggarakan oleh Program Studi S2 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara (USU) dan dihadiri oleh akademisi serta mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia.
Dalam pemaparannya, Prof. Sugeng mengangkat tema besar terkait pergantian kekuasaan di Indonesia, menyoroti peran tokoh-tokoh nasional seperti Sukarno dan Soeharto. Ia membahas perbedaan ideologi dan perubahan pandangan politik yang terjadi sepanjang karier dua pemimpin bangsa tersebut.
Sukarno: Dari Nasionalisme hingga Demokrasi Terpimpin
Prof. Sugeng memulai dengan mengulas salah satu karya tulis Sukarno pada tahun 1926 yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Sukarno, 1965: 1-23). Menurut Prof. Sugeng, tulisan ini merupakan cerminan kecemerlangan pemikiran Sukarno muda, yang menggabungkan unsur-unsur nasionalisme, agama, dan sosialisme dalam perjuangannya.
Namun, menurut Prof. Sugeng, seiring berjalannya waktu, Sukarno mengalami perubahan dalam visi politiknya. "Perubahan ini tercermin dari pergeseran pemikiran dari Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme menjadi Nasionalisme, Agama, dan Komunisme pada era Demokrasi Terpimpin. Ini menandakan transformasi dari Sukarno muda yang idealis menjadi Sukarno tua yang, dalam pandangan banyak pihak, dianggap keblinger,” ujar Prof. Sugeng Rabu (18/9/2024).
Hatta dan Sjahrir dalam Pandangan Sukarno
Dalam seminar tersebut, Prof. Sugeng juga mengutip pernyataan Sukarno yang tertulis dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi (Sukarno, 1966: 332), di mana Sukarno menyatakan bahwa peran Mohammad Hatta dalam perjuangan kemerdekaan bukanlah faktor yang krusial. Sukarno menegaskan bahwa ia lebih membutuhkan Hatta demi persatuan bangsa, terutama karena Hatta berasal dari Sumatra, wilayah yang penting dalam memperkuat dukungan untuk kemerdekaan Indonesia.
“Pernyataan ini menunjukkan bagaimana Sukarno, sebagai pemimpin, mempertimbangkan faktor geopolitik dalam menentukan mitranya, khususnya dalam upaya menyatukan seluruh rakyat Indonesia,” jelas Prof. Sugeng.
Soeharto: Dari Bapak Pembangunan hingga Pengaruh Supersemar
Selain membahas Sukarno, Prof. Sugeng juga menyinggung masa kekuasaan Soeharto yang diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Bapak Pembangunan. Soeharto menjadi tokoh sentral dalam pembangunan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru. Ia juga menerbitkan buku otobiografi berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, yang mendokumentasikan perjalanan hidup serta pemikirannya selama memimpin Indonesia.
Prof. Sugeng juga menyoroti peran Soeharto sebagai tokoh yang kuat di balik Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). “Soeharto adalah tokoh militer yang memainkan peran penting dalam menstabilkan keamanan nasional pada masa itu, meskipun langkah-langkahnya sering kali diawasi oleh tokoh militer lain seperti L.B. Moerdani,” tambahnya, mengutip sumber dari Sumarkidjo (2006: 213-277 & 297).
Legitimasi dan Warisan Pemimpin Nasional
Sebagai penutup, Prof. Sugeng membahas pentingnya legitimasi politik dan warisan kepemimpinan bagi kedua tokoh besar Indonesia ini. "Sukarno dikenal sebagai Putera Fajar, sebuah gelar yang memberikan legitimasi sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia, sementara Soeharto dijuluki sebagai Bapak Pembangunan yang membawa Indonesia menuju era modernisasi," jelas Prof. Sugeng.(tgr)