RADARBANYUMAS.DISWAY.ID - Dalam sejarah perjalanan politik Indonesia, nama Megawati Soekarnoputri tak bisa dipisahkan dari berbagai tonggak penting demokrasi dan reformasi. Sebagai anak Proklamator Bung Karno, Megawati bukan hanya mewarisi darah pejuang, tetapi juga jiwa yang konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi. Sosok
Megawati menjadi simbol reformasi, terutama setelah peristiwa 27 Juli 1996 yang dikenal sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli), yang menjadi titik balik dalam perjuangan demokrasi di Indonesia. Tanpa Megawati, revolusi mental dan reformasi mungkin tidak akan terwujud.
Megawati Soekarnoputri lahir pada 23 Januari 1947, sebagai putri pertama dari pasangan Soekarno dan Fatmawati. Dalam masa kecilnya, Megawati tumbuh dalam lingkungan yang sangat politis, di mana ayahnya, Soekarno, adalah tokoh sentral dalam kemerdekaan dan presiden pertama Indonesia. Pendidikan politik Megawati dimulai sejak dini, karena ia menyaksikan langsung bagaimana ayahnya memimpin negara dalam masa-masa penuh tantangan.
Perjalanan politik Megawati dimulai pada era 1980-an ketika ia terjun ke dalam dunia politik dengan bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Di tengah tekanan rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, Megawati mulai menunjukkan keberaniannya. Pada tahun 1993, ia terpilih sebagai Ketua Umum PDI, menggantikan Soerjadi. Pemilihannya sebagai Ketua Umum PDI tidak hanya menandai kebangkitan PDI, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pemimpin oposisi.
Puncak perjuangan Megawati terjadi pada peristiwa 27 Juli 1996, yang dikenal sebagai Kudatuli. Pada hari itu, kantor pusat PDI di Jakarta diserbu oleh kelompok pro-pemerintah yang ingin menggulingkan kepemimpinan Megawati. Serangan ini menyebabkan kerusuhan besar dan beberapa orang kehilangan nyawa. Namun, peristiwa ini juga menguatkan posisi Megawati sebagai simbol perlawanan terhadap rezim otoriter Soeharto. Peristiwa Kudatuli menjadi titik balik penting dalam sejarah reformasi Indonesia. Megawati menunjukkan keteguhan dan keberaniannya, tidak menyerah pada tekanan dan intimidasi. Keberaniannya menginspirasi banyak orang, terutama kalangan mahasiswa dan aktivis, untuk terus memperjuangkan demokrasi dan reformasi.
Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi. Megawati memainkan peran penting dalam proses ini. Sebagai Wakil Presiden di bawah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati terlibat dalam upaya untuk memperbaiki sistem politik dan hukum di Indonesia. Ketika Gus Dur diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001, Megawati kemudian dilantik menjadi Presiden ke-5 Indonesia. Sebagai Presiden, Megawati menghadapi berbagai tantangan besar, termasuk krisis ekonomi dan politik.
Namun, ia berhasil memperkenalkan beberapa reformasi penting. Salah satu pencapaiannya yang paling signifikan adalah pemisahan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Langkah ini penting untuk memperkuat kontrol sipil atas militer dan mencegah campur tangan militer dalam urusan politik.
Megawati juga memperkenalkan pemilu presiden langsung, yang memberikan rakyat hak untuk memilih presiden mereka secara langsung. Ini merupakan langkah penting dalam memperkuat demokrasi di Indonesia. Selain itu, ia juga membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menjadi lembaga penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.bMegawati sering kali berbicara tentang pentingnya revolusi mental, konsep yang diwarisi dari ayahnya, Bung Karno.
Revolusi mental adalah tentang mengubah pola pikir dan mentalitas masyarakat agar menjadi lebih mandiri, percaya diri, dan tidak mudah terjajah oleh kekuatan asing atau internal yang korup. Megawati percaya bahwa revolusi mental adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang berdaulat dan negara yang kuat. Dalam berbagai pidatonya, Megawati selalu menekankan pentingnya integritas, kejujuran, dan moralitas dalam politik. Ia mengingatkan bahwa pemimpin harus memiliki nilai-nilai keutamaan (arate) dan tanggung jawab moral. Menurutnya, politik bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi juga tentang melayani rakyat dan memperjuangkan kesejahteraan umum.
Megawati dikenal sebagai sosok yang konsisten dan setia terhadap konstitusi, meskipun harus melalui jalan penderitaan. Keberanian dan keteguhannya tercermin dalam pidato-pidatonya yang sering mengutip tokoh-tokoh dunia dan pemikiran filsafat. Megawati bukan hanya seorang politisi, tetapi juga seorang filsuf yang berbicara tentang kebenaran tanpa menutup-nutupi. Ketika kekuasaan menyimpang dari konstitusi, Megawati dengan tegas menyuarakan kebenaran, meskipun sering kali tidak mengenakkan bagi mereka yang berkuasa.
Megawati mengajarkan bahwa demokrasi yang sehat harus berlandaskan pada konstitusi yang kuat. Konstitusi adalah fondasi yang menjaga agar kekuasaan tidak menyimpang dan tetap pada jalurnya. Dalam berbagai kesempatan, Megawati selalu menekankan pentingnya menghormati dan menjalankan konstitusi dengan konsisten. Hal ini terlihat jelas dalam upayanya memisahkan Polri dari TNI dan menyelenggarakan pemilu presiden langsung, langkah-langkah yang memperkuat demokrasi dan transparansi dalam pemerintahan.
Salah satu tantangan besar dalam menjaga demokrasi adalah fenomena populisme. Populisme sering kali menggunakan jargon anti-kemapanan dan pro-rakyat untuk menarik dukungan. Namun, program-program yang diusung populis sering kali tidak realistis dan hanya mempermainkan harapan rakyat. Ini mengakibatkan rakyat menjadi korban dari janji-janji yang tidak terpenuhi. Megawati menyadari bahaya populisme ini dan selalu menekankan pentingnya pemimpin yang memiliki keutamaan (arate) dan tanggung jawab moral.
Populisme politik menjerumuskan rakyat miskin menjadi korban dari cara-cara berpolitik yang manipulatif. Kampanye populis sering kali memanfaatkan emosi dan ketidakpuasan rakyat tanpa menawarkan solusi yang nyata dan berkelanjutan. Megawati mengingatkan bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan nalar demokrasi. Dalam demokrasi yang sehat, rakyat memilih pemimpinnya berdasarkan rekam jejak yang baik dan tanggung jawab moral untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka.
Untuk menghadapi tantangan populisme dan kapitalisme dalam Pilkada serentak yang akan datang, penting untuk meningkatkan pendidikan politik di kalangan masyarakat. Organisasi memiliki peran strategis dalam mendidik pemilih agar tetap menjaga akal sehat mereka. Pemilih harus diajarkan untuk memilih sesuai dengan moral, nilai, dan kewarasan politik, bukan sekadar terpengaruh oleh janji-janji manis yang tidak realistis.
Pendidikan politik yang baik akan membantu masyarakat memahami pentingnya memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak yang baik, tanggung jawab moral, dan komitmen untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Pemilih yang rasional akan memilih pemimpin yang tidak ingkar janji dan yang antara kata dan perbuatan satu kesatuan. Dalam era digital, sangat penting untuk memutus tali-temali populisme yang hanya mencari kepentingan pribadi dan bukan untuk kepentingan rakyat banyak.