Hikmah Ramadan: Mendidik Jiwa, Menghidupkan Nurani

Hikmah Ramadan: Mendidik Jiwa, Menghidupkan Nurani

--

 

Rizqi Yusnitasari (Alumni UMP)

 

            Ramadan adalah bulan yang istimewa bagi umat Islam. Hadir sekali dalam setahun, bulan ini memberikan nuansa yang sangat berbeda dibanding bulan-bulan yang lainnya. Menjelang datangnya Ramadan, mendadak orang-orang Islam sibuk mempersiapkan diri dari mulai membersihkan masjid, berziarah ke makam keluarga sampai ke menyusun rencana kegiatan selama satu bulan penuh.

            Terkait dengan bulan suci ini, Imam Asy-Syaukani dalam kitab Fathul Qadir mengungkapkan salah satu pendapatnya tentang asal nama Ramadan. Menurut beliau, nama ramadan diambil dari kata yarmadhu. Yarmadhu memiliki arti ‘membakar’. Disebut ‘membakar’, karena bulan Ramadan ‘membakar’ dosa-dosa dengan amal solih. Dari pendapat Imam As Syaukani ini, barangkali tersirat pesan bahwa perintah puasa di bulan Ramadan juga bertujuan untuk membantu kita mengingat peristiwa saat nafsu diciptakan.

Dikisahkan dalam kitab Tanbihul Ghafilin karya Abu Laits As Samarqandi, di awal penciptaannya bersama akal, nafsu pernah dimasukkan ke neraka sebanyak dua kali. Yang pertama ia dimasukkan ke neraka Jahim selama 100 tahun dan kemudian ke neraka Juu’ (neraka yang penuh dengan rasa lapar) selama 100 tahun. Hal ini disebabkan karena nafsu menolak untuk mengakui Allah sebagai Rabb-nya. Saat Allah bertanya, ‘Siapakah engkau dan siapakah Aku?’, nafsu menjawab ‘Aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau’. Betapa besar ‘keakuan’ yang dimiliki oleh nafsu hingga iapun dimasukkan ke dalam neraka. Setelah masuk ke neraka Jahim, nafsu masih teguh dengan jawaban yang sama. Hingga pada akhirnya, setelah dimasukkan ke dalam neraka yang penuh dengan rasa lapar, barulah nafsu mengakui Allah sebagai Rabb-nya dengan berkata “Aku adalah hamba-Mu dan Engkau adalah Tuhanku.’ ‘Pembakaran’ nafsu di neraka Juu’ ini menunjukkan kepada kita bahwa menahan lapar juga merupakan cara untuk mengendalikan nafsu. Nafsu yang membuat kita merasa besar padahal kecil, nafsu yang membuat kita merasa bisa mengendalikan semua hal padahal tidak. Semua itu adalah bagian dari ‘keakuan’ yang membuat manusia sombong dan sulit untuk menerima kebenaran.

 

            Di samping itu, Syekh Muzaffar dalam risalah Al Qusyairiyah karya Imam Al Qusyairi juga menjelaskan keutamaan dari rasa lapar. Ia mengatakan bahwa rasa lapar jika dibarengi dengan sifat qanaah, maka akan menjadi media tafakkur, sumber hikmah dan kecerdasan, serta menjadi pelita hati. Dari sisi ilmu kedokteran sendiri, terlalu banyak makan juga akan menjadikan kita malas beraktivitas dan lambat dalam berpikir. Karena itulah, umat Islam diberikan waktu khusus untuk mengistirahatkan perut kita dari aktivitas makan yang berlebihan dan tidak teratur. Sistem pencernaan yang beristirahat, dapat memberi waktu pada otak untuk lebih banyak ber-tafakkur, menyelam lebih dalam ke diri sendiri dan merenungi apa-apa yang terjadi di dunia ini serta mengambil ibrah (pelajaran).

 

            Dalam ber-tafakkur, otak dituntut untuk lebih mindful, lebih sadar akan realitas yang ada di dunia ini dan aktivitas yang kita lakukan. Kita dapat menyadari niat-niat hati yang seringkali berbelok, lisan kita yang sering menyakiti, pikiran-pikiran buruk yang sering melintas, emosi-emosi terpendam yang menunggu untuk diselesaikan, serta penderitaan saudara-saudara kita yang seringkali luput dari perhatian. Dengan menyadari hal-hal tersebut, kita dapat menyelesaikan masalah-masalah yang tak bisa kita selesaikan saat kita sibuk dengan hiruk pikuk kehidupan dunia.

Kita juga dapat lebih mengasah empati kita terhadap sesama, serta mengenal diri kita dengan lebih baik.  Singkatnya, bulan Ramadan ini adalah momentum yang sangat bagus untuk mendidik jiwa manusia, agar jiwa kita bebas dari belenggu hawa nafsu yang tak henti-hentinya ‘merengek’ minta ‘diberi makan’. Hawa nafsu yang selama ini sering sekali kita turuti kemauannya, padahal pada akhirnya ia hanya akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Imam Al Ghazali sendiri pernah berkata, “Aku tidak pernah berurusan dengan sesuatu yang lebih sukar daripada jiwaku sendiri; kadang ia membantuku, kadang ia menentangku.”

Dari perkataan tersebut, barangkali, Imam Al Ghazali ingin menggambarkan betapa nafsu berpengaruh besar dalam mengombang-ambingkan jiwa kita. Adapun dalam sebuah hadits shahih juga dikatakan bahwa jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya. Syaikh ‘Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al Badr hafizhahullah lebih lanjut mengatakan bahwa jika kaum muslimin melalaikan jihad melawan diri sendiri, mereka tidak akan mampu jihad melawan musuh-musuh mereka, sehingga dengan sebab itu terjadi kemenangan musuh terhadap mereka. Hal ini tentu sangat mudah untuk dicari penjelasannya.

Bayangkan saja, bagaimana bisa seseorang menang dalam pertempuran jika sebelum bertempur saja masih tidak disiplin, pikirannya sudah dihantui ketakutan akan kekalahan, mementingkan diri sendiri dan pikiran-pikiran negatif lainnya. Dengan demikian, sudah semestinya setiap muslim memanfaatkan betul bulan Ramadan ini untuk meng-upgrade kualitas diri serta ketaqwaannya sehingga dapat benar-benar meraih kemenangan; baik atas diri sendiri maupun atas musuh di luar sana. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: