Di Daerah Harga Per Kantong Tembus Rp 5 Ribu, Kantong Plastik Berbayar Dihentikan
JAKARTA- Komitmen pihak swasta mengurangi sampah plastik antiklimaks. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) "mencabut" dukungannya dengan menghentikan program kantong plastik tidak gratis (KPTG) mulai Sabtu (1/10). Ketua Aprindo Roy N. Mandey menyatakan keputusan itu diambil lantaran program uji coba yang sudah dijalankan sejak 21 Februari 2016 tersebut diluar ekspektasi. Menurutnya, banyak intervensi mewarnai program pemerintah tersebut. "Kami mulai menemui kendala dalam penerapannya (KPTG, Red)," kata Roy di Jakarta, kemarin (3/10). Sebelumnya, Aprindo menindaklanjuti surat edaran (SE) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pengurangan sampah plastik. Dukungan yang diberikan Aprindo berupa imbauan KPTG ke seluruh pelaku usaha ritel. Pengusaha ritel kelas mini, super, hyper, kulakan sampai departement store diimbau menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar dengan harga minimal Rp 200 per kantong. Roy mengatakan intervensi itu terjadi di tingkat daerah. Menurutnya, terjadi salah penafsiran atas maksud dan tujuan kantong plastik berbayar. Itu seiring munculnya regulasi yang berbeda-beda antara satu daerah dengan lainnya. "Ini yang menjadi kemelut," ujarnya. Catatan Aprindo, ada 10 daerah kabupaten/kota yang menafsirkan kantong plastik berbayar dengan membuat aturan main sendiri. Mereka mengatur harga satu kantong plastik di kisaran Rp 1.500 sampai Rp 5.000. Kondisi itu dikeluhkan pengusaha ritel karena mengganggu sistem distribusi dan mekanisme dagang yang sudah tertata. Perbedaan penafsiran itu juga memberatkan konsumen. Roy menjelaskan, harga kantong plastik Rp 200 merupakan dasar dari harga plastik termurah. "Nominal tersebut masuk dalam mekanisme dagang atau sudah termasuk harga barang, tidak ada keuntungan yang diberikan kepada pemerintah," jelasnya. Wakil Ketua Aprindo Tutum Rahanta menambahkan, imbauan KPTG itu ada pula yang dikaitkan dengan aturan pengelolaan sampah dan kegiatan coorporation social responsibility (CSR) di daerah. "Salah kaprah jadinya, seharusnya itu (program CSR, Red) tidak dicampur dengan ini (kantong plastik berbayar, Red)," terangnya. Ketentuan kantong plastik berbayar yang tidak dilandasi payung hukum kuat juga menjadi alasan Aprindo sulit melanjutkan KPTG. Tutum pun mendesak pemerintah dalam hal ini Kemen LHK segera menyelesaikan peraturan menteri (permen) yang lebih detail mengatur mekanisme pengurangan kantong plastik. Di tempat terpisah, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar sudah meminta dewan persampahan nasional membahas persoalan tersebut. Pihaknya juga bakal segera mengecek sejauh mana persiapan permen yang ditunggu pengusaha ritel. "Kami juga sudah minta dicek itu daerah yang sudah punya regulasi (sampah plastik, Red)," terangnya. Siti mengatakan, bila merujuk UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah sebenarnya tidak ada masalah terkait regulasi persampahan di daerah. Pemda, kata dia, memiliki kewenangan membuat kebijakan terhadap urusan sampah plastik. "Aprindo juga mengerti soal itu (regulasi di daerah, Red)," imbuhnya. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai Aprindo tidak punya concern dalam pengurangan sampah plastik yang ditimbulkan dari transaksi bisnisnya. Rontoknya uji coba plastik berbayar ini juga menunjukkan Kemen LHK lamban menggodok penguatan regulasi plastik berbayar. Menurut YLKI, dukungan publik terhadap upaya pengurangan sampah plastik melalui plastik berbayar sebenarnya sudah lumayan tinggi. Survei YLKI pada Maret 2016, sebanyak 26,8 persen konsumen memahami kebijakan pengurangan sampah plastik. (tyo)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: