Mengenal Empat Pusaka Banyumas yang Dikirab Setiap Hari Jadi (1)
Keris Kyai Gajah Endra, Keris Pertama Joko Kahiman Setiap tahun, setiap perayaan Hari Jadi Banyumas, selalu dilaksanakan prosesi Kirab Pusaka Banyumas. Ada empat pusaka yang dikirab. Keris Kyai Gajah Endra, Keris Kyai Nala Praja, Kitab Pustaka Stambul, dan Tombak Kyai Genjring. Dari empat pusaka, keris Kyai Gajah Endro menjadi yang istimewa. Bayu Indra Kusuma, PURWOKERTO Melihat sepintas, Keris Kyai Gajah Endro seperti kebanyakan keris pada umumnya. Yang menjadikan istimewa, Keris Kyai Gajah Endra merupakan keris pertama yang dimiliki Joko Kahiman yang juga bupati pertama Banyumas. Keris tersebut merupakan pemberian Ki Tolih, guru sekaligus orang tua angkat Joko Kahiman. Jika dihitung dari usianya, Keris Gajah Endra memiliki usia yang jauh lebih uzur dibandingkan Kabupaten Banyumas itu sendiri. Mengingat, keris tersebut didapatkan Joko Kahiman jauh sebelum dia dipercaya menjadi untuk memegang kekuasaan di Banyumas. "Keris Gajah Endra bisa dikatakan memiliki kekhususan di banding pusaka yang lain, karena itu sudah dimiliki oleh Joko Kahiman sebelum dia menjadi apa-apa, atau masih mencari kesaktian. Kalau pusaka yang lain merupakan pusaka turun temurun dari Adipati Wirasaba, seperti Keris Nala Praja dan dan Tombak Kyai Genjring," kata Kabid Kebudayaan Dinporabudpar Banyumas, Deskart Djatmiko. Menurut Babad Banyumas yang ditulis Belanda dengan judul Tijdschrift Voor Indische Taal Land En Volkekunde Uitgeven Door Het Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen, asal usul keris Kyai Gajae Endro tidak lepas dari pertempuran Pangeran Majapahit bernama Jaka Sasedah melawan Pangeran Pajajaran, Siyung Wanara. Namun, dalam pertempuran tersebut, Siung Wanoro kalah. Kemudian, Siyung Wanara pergi ke Kadipaten Kalingga (Jawa Tengah) untuk meminta bantuan Pangeran Kalingga. Kemudian, Pangeran Kalingga, mengutus Ki Tolih, supaya pergi ke Majapahit untuk membunuh Jaka Sasedah. Selain itu Ki Tolih juga dibekali keris dan seekor burung elang raksasa sebagai tunggangan. Namun, ternyata kedatangan Ki Tolih tersebut sudah diketahui Jaka Sasedah. Ia pun mengutus patih Gajah Mada untuk bersiap. Saat Ki Tolih turun di komplek kepatihan, burung elang tunggangan Ki Tolih dipukul dengan tongkat oleh Gajah Mada. Burung Elangpun mati seketika. Sementara Ki Tolih yang sudah terdesak akhir ditahan dan mengakui kalau ia adalah utusan Pangeran Keling untuk membunuh Jaka Sasedah. Ki Tolih pun menjadi tahanan di Majapahit. Cerita berlanjut, saat tiba-tiba ada seekor kuda di Keraton Majapahit mengamuk karena dirasuki roh burung elang tunggangan Ki Tolih. Karena tidak ada yang bisa menangkap, akhirnya Jaka Sasedah membuat sayembara. Siapa saja yang bisa menangkap kuda tersebut akan dinaikan pangkatnya dan mendapat istri. Namun, tidak ada yang sanggup. Akhirnya Ki Tolih menyatakan bersedia menangkap kuda tersebut. Syaratnya, dia meminta tali kekang burung elang dan juga gabah padi. Singkat cerita Ki Tolih, berhasil menangkap kuda yang mengamuk tersebut. Karena keberhasilanya, Ki Tolih dihadiahi pangkat dan istri. Ki Tolih juga mendapat gelar Kyai Macan Guguh. Namun, Ki Tol,ih menolak dan hanya meminta kembali Keris Kalingga yang bernama Gajah Endra. Ki Tolih akhirnya dijinkan tinggal di luar kerajaan. Sementara Keris Gajah Endro dikembalikan namun sarung atau warangka diminta Jaka Sasedah. Setelah dibebaskan, KI Tolih mengembara hingga ke wilayah Kawi dan terus berjalan hingga ke Kadipaten Kaleng Negari Panjer. Di Kaleng inilah Ki Tolih mengangkat saudara Adipati Kaleng bernama Raden Banyak Kumara. Raden Banyak Kumara merupakan putra Raden Putera atau Syekh Baribin. Seorang pangeran Majapahit yang mengembara ke barat dan menetap di Grenggeng Negari Panjer yang sekarang Karanganyar, Kebumen. Raden Banyak Kumara memiliki saudara tua, Raden Kaduhu (Adipati Margautama) di Kabupaten Wirasaba, Raden Banyak Sasra (Pasir Luhur) dan adik perempuan bernama Nyai Mranggi atau Rara Ngaisah yang juga istri Kyai Mranggi atau Ki Jaka Jawar di Kejawar, Banyumas. Keberadaan Ki Tolih di Kaleng ternyata membawa kemakmuran untuk negara itu. Sehingga, Ki Tolih semakin dicintai rakyat Kaleng dan Adipati Kaleng, Raden Banyak Kumara. Menurut cerita, pada tahun 1437, kejayaan Majapahit mulai surut. Pusat kerajaan dipindahkan ke Demak, dan yang menjadi raja adalah putra Ratu Majapahit, Raden Patah bergelar Sultan dan menjadi kerajaan Islam. Banyak kerajaan lain yang juga berganti menjadi kerajaan Islam. Saat itu juga, Bupati Wirasaba Adipati Margautama II atau Raden Warga, anak Adipati Margautama I atau Raden Kaduhu juga mulai memeluk Islam. Bahkan, ia berangkat ke Demak dan belajar Islam. Sepulang dari Demak, Adipati Margautama II meminta semua rakyatnya memeluk Islam. Suatu hari, Raden Banyak Kumara kedatangan tamu, yaitu Nyai Mranggi, adiknya dan Kyai Mranggi dari Kejawar. Nyai Mranggi mengatakan akan meminjam uang karena anak angkatnya Raden Bagus Mangun atau Joko Kaiman yang sebenarnya anak pertama Raden Banyak Sasra dari Pasir Luhur akan dinikahkan dengan Adipati Margautama II Wirasaba yang sebenarnya masih saudara sendiri. Permintaan itu pun disanggupi. Namun, selain uang, Ki Tolih meminta Kyai Mranggi membuatkan warangka untuk keris Adipati Kalingga. Saat ke Kejawar mengambil kerisnya, Ki Tolih bertemu Joko Kaiman. Kemudian, Joko Kaiman juga diangkat menjadi anak angkatnya. Selanjutnya, Ki Tolih memberikan Keris Gajah Endra kepada Joko Kaiman untuk diturunkan kepada pewarisnya. Namun, saat itu warongko, tetap dibawa ke Kaleng untuk diberikan kepada Adipati Kaleng, Banyak Kumara. Namun, sebelum pulang, Ki Tolih sempat berujar. "Siapa saja yang memiliki Keris Gajah Endro, akan menemukan kebahagian dan menjadi raja. Namun, setelah tujuh turunan, akan ada perang yang bertujuan mengambil keris itu dari keturunanmu". Menurut Deskrat, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan, untuk menilai keris itu bagus atau tidak. Mulai dari wutuh (bentuk atau wujudnya), sepuh (usia keris), tangguh (garis keturunannya), hingga tayuh (isi keris). Lalu juga ada cara tersendiri untuk perhitungannya, mulai dari sri, sengkali, arjuna mangan ati, rondo tunggu dunyo, hingga dandang tunggu nyowo. "Jadi, kecocokan dan kekuatannya ditentukan dengan weton sang pembawa keris. Dalam kisah jaman dahulu, bukan orang yang memilih keris, tetapi kerislah yang memilih pemiliknya," tegasnya. Dijelaskan, makna kirab pusaka Banyumas ini sebenarnya sebagai salah satu upaya agar masyarakat dapat lebih mengenal lebih jauh mengenai nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalam benda-benda pusaka yang dikirab. Saat ini, pusaka-pusaka tersebut masih tersimpan rapi di museum pusaka yang berada di kompleks Pendopo Si Panji Purwokerto. "Harapannya, bukan hanya seni atau festivalnya saja, tetapi masyarakat juga dapat mengetahui sejarah benda-benda pusaka Banyumas," tegasnya. (*/acd)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: