Faktor Manusia Lebih Dominan Menjadi Penyebab Banjir dan Genangan di Purwokerto
PURWOKERTO - Banjir yang terjadi warga Arcawinangun akhir Januari lalu, menjadi kado pahit warga setempat. Luapan Kali Bakal itu dinilai menjadi yang terdasyat. Beberapa rumah warga rusak. Sementara barang-barang juga hanyut terbawa air. Kepala Kelurahan Arcawinangun, Wiharyanto menyebut, banjir yang langganan terjadi akibat luapan Kali Bakal dan Kali Raden ada faktor manusianya. Banyaknya alih fungsi lahan dari sawah menjadi perumahan di tuding menjadi salah satu faktor. Selain juga adanya bangunan yang memang tidak mengindahkan garis sepadan sungai (GSS). Bangunan yang terlalu dekat dengan sungai menjadikan sungai menyempit. "Sudah diberi surat peringatan tetapi belum ada tindakan kelanjutanya. Kalau sudah begitu, jadi susah untuk digeser menyesuaikan peraturan bangunan sesuai GSS," katanya. Penegasan tentang berperanya manusia dalam menyebabkan banjir disampaikan pengamat Lingkungan Hidup dari Unsoed Dr Ir Eko Hendarto MSi. Menurutnya, perencaaan tata ruang yang ada dilakukan saat ini cenderung tidak mengacu pada aturan-aturan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Salah satunya terhadap daya dukung lingkungan terhadap perencanaan pembangunan ke depannya. Tidak hanya itu, sebagian besar pembangunan saat ini juga tidak terlalu memperhatikan hal teknis, seperti aturan sempadan, baik sempadan bangunan maupun sempadan sungai. "Walau pembangunan dilakukan di lahan milik sendiri, seharusnya tetap memerlukan rekomendasi dari dinas teknis terkait, khususnya yang berkaitan dengan garis sempadan. Namun di lapangan saat ini hal seperti itu cenderung tidak diperhatikan, dengan alasan keterbatasan biaya," katanya. Menurut Kabid Kabid Sumber Daya Air dan Irigasi Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Banyumas, Kresnawan menilai banjir dan genangan memang tidak bisa lepas dari kondisi curah hujan saat ini yang memang tinggi. Namun, ada peran manusia yang juga mendukung terjadinya banjir sehingga sungai meluap. Yaitu masalah sampah. Menurutnya, fungsi irigasi sendiri, saat ini berfungsi ganda. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa saluran irigasi yang melintasi daerah perkotaan, dianggap sebagai drainase dan dijadikan tempat pembuangan. Padahal, secara konstruksi jelas berbeda. Kalau drainase semakin ke hilir, semakin melebar karena untuk pembuangan, tetapi kalau irigasi semakin ke hilir semakin mengecil. "Itu juga menjadi faktor. Kemudian juga kesadaran masyarakat saat ini perlu diberikan pemahaman terhadap bangunan-bangunan yang menghimpit saluran. Sehingga operasional pemeliharaan untuk normalisasi, terkadang kita mengalami kesulitan karena untuk masuk ke akses tersebut saja sudah tidak bisa, karena terjepit bangunan," terangnya saat ditemui di ruangannya, Rabu (8/1). Untuk mengatasi hal itu, pihaknya telah melakukan berbagai upaya, seperti sosialis kebersihan kepada masyarakat sekjitar sungai, hingga menerjunkan tim melalui forum masyarakat peduli sungai (Formaspesung). "Itu sudah kita upayakan sampai ke tingkat RT/RW, supaya ikut memelihara kebersihan sungai," ujarnya. Menurut pihaknya juga telah menganggarkan untuk pemberdayaan sungai yang ada di Banyumas. Anggaran tersebut digunakan untuk sosialisasi, dan kebersihan sungai. "Tahun ini kita anggarkan dari APBD sebesar Rp 100 juta untuk sosialisasi dan kebersihan," tambahnya. Sementara itu, menurut data DPU Banyumas, ada beberapa sungai yang memang langganan meluap di Banyumas. Seperti Sungai Bener, Sungai Gatel, di Kedung Pring, Kemranjen dan Sungai Kecepek, di Purwodadi, Kecamatan Tambak. Kali Bener merupakan jaringan kolektor dari seluruh drainase di perkotaan Purwokerto. "Di Kalibener adalah pengumpul drainase, sehingga dengan curah hujan yang tinggi sering terjadi black water atau aliran air tidak mau mengalir dan hampir setiap tahun terjadi luapan air," katanya. Sungai Bener merupakan sungai yang melintasi beberapa wilayah, seperti Desa Karang Asri, Karang Rau, Sokaraja, Karang Pucung, Kalibener, hingga Karang Klesem, Purwokerto Selatan. (why/acd)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: