Tidur di Dekat Kuburan hingga Reruntuhan Bangunan

Tidur di Dekat Kuburan hingga Reruntuhan Bangunan

Bambang "Paimo" Hertadi Mas, Gowes Keliling Dunia dengan Sepeda Sederhana Bambang Hertadi Mas sudah seperti "legenda hidup" bersepeda jarak jauh. Sudah lima benua dia jelajahi dengan sepeda sederhana. Kendati banyak makan asam garam, lelaki yang akrab dipanggil Paimo itu tak pernah rewel menyetel spesifikasi sepedanya. AGUNG PUTU ISKANDAR, Bandung Kini, kesulitan yang dialami Paimo tidak lagi dirasakan banyak orang. Sebab, olahraga bersepeda semakin ngetren. Peralatan penunjang bike touring juga sudah tersedia di mana-mana. Bahkan, spesifikasi sepeda saat ini sudah sangat canggih dengan harga bervariasi. Belum lagi pannier bag yang dipasang di sisi kanan dan kiri sepeda, sekarang banyak yang sudah waterproof. "Kalau mau memakai sepeda mahal juga tidak apa-apa. Yang jelas, kalau sepeda murah harus disadari kekuatannya sampai seberapa," kata suami Christine Claudia Lukman itu lantas tersenyum. Hingga kini, belum ada penggiat sepeda touring yang bisa menyamai rute-rute dahsyat yang dilalui arek Malang tersebut. Umumnya mereka berkutat pada rute-rute jarak jauh di level domestik. Kalaupun ada yang mencoba menempuh rute panjang di luar negeri, banyak yang tak kuat di tengah jalan. Misalnya, sekelompok penggiat sepeda jarak jauh yang bermaksud naik haji dengan bersepeda pancal, beberapa waktu lalu. Tapi, mereka hanya bisa sampai Tiongkok. Mereka terkendala cuaca. "Untuk menjadi bikepacker, perencanaan harus matang. Kalau tahu cuaca bakal buruk, kita harus bisa mengantisipasinya. Jangan menyalahkan keadaan," tuturnya. Karena itu, menjadi petualang sepeda membutuhkan fisik dan mental sekuat baja. Dia tidak boleh lemah hanya gara-gara kondisi yang tidak ideal. Soal tempat tidur, Paimo harus menyadari keterbatasan sangunya. Dia mesti rela tidur di dekat kuburan, dekat lapangan bola, bahkan di reruntuhan bekas stasiun. Pernah saat dalam perjalanan di kawasan danau Salar de Chiguana, Bolivia, yang mengering, dia harus mendirikan tenda di sebuah reruntuhan bangunan yang tak terurus dan sangat kotor. "Bagaimana lagi, mau tidak mau saya harus mendirikan tenda di situ," katanya. Petualangan di sepanjang jalur Bolivia-Chile memang yang paling berat dirasakan Paimo. Sepanjang enam ribu kilometer dia jalan darat dari La Paz, ibu kota Bolivia, hingga Punta Arenas di Chile. Tantangannya tak hanya pada jarak tempuh yang sangat jauh. Ketinggian alias altitude medan juga luar biasa. Selama dua minggu dia harus menggowes pada ketinggian 3.600 mdpl yang hampir sama tingginya dengan Gunung Semeru di Jawa Timur. Gowes di Amerika Selatan tak bisa sembarangan. Paimo mengaku harus bisa mengelola energi plus pintar-pintar menyiasati kadar oksigen yang tipis. Sepeda tak sekadar digenjot, kadang-kadang dia harus berhenti sejenak untuk mengadaptasikan tubuhnya. Meski begitu, selama dalam perjalanan, dia senang karena menemukan banyak binatang yang tidak ada di Tanah Air. Salah satunya, Llama. Binatang pengangkut barang itu dia temui berkeliaran di lereng-lereng pegunngan Bolivia. "Binatang itu pemalu. Baru didekati saja sudah lari," katanya lantas tersenyum. Llama adalah hewan yang sensitif. Jika posisinya terancam, dia biasanya menyemprotkan ludah ke pengganggunya. Pengalaman gowes di Amerika Selatan itu kini dia bukukan dalam judul Bersepeda Membelah Pegunungan Andes. Paimo berharap buku itu bisa menjadi pelajaran bagi para penggemar bikepacker untuk menjelajahi negeri sendiri yang luas. Kendati sudah melalui ratusan jalur gowes ekstrem, Paimo mengaku belum puas. Dia berencana melanjutkan petualangannya di wilayah-wilayah menantang di belahan dunia yang lain. "Saya ini orangnya tidak bisa diam. Harus terus bergerak meski tidak sedahsyat dulu lagi karena faktor usia," tandas dia lantas terbahak. (*/c2/ari/acd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: