SKB 3 Menteri Munculkan Keresahan Terkait Aturan Seragam Sekolah, Bikin Pro dan Kontra

SKB 3 Menteri Munculkan Keresahan Terkait Aturan Seragam Sekolah, Bikin Pro dan Kontra

Grafis Radar Banyumas JAKARTA - Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri terkait seragam sekolah telah menimbulkan keresahan. Banyak kalangan, baik orangtua murid atau pun guru yang masih misinformasi terhadap SKB tersebut. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo berharap agar pemerintah lebih masif melakukan sosialisasi SKB yang diterbitkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama terkait seragam sekolah. Sosialisasi harus dilakukan secara berjenjang mulai dari pemerintah daerah, sekolah, orangtua hingga murid atau siswa. Dalam sosialisasi tersebut harus pula melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat. https://radarbanyumas.co.id/pemda-dan-sekolah-diminta-patuhi-skb-seragam-sekolah-dan-atribut-tanpa-kekhususan/ "Jangan sampai SKB ini hanya sebagai tindakan reaktif pemerintah untuk meredam gejolak yang muncul tanpa kajian dan tindak lanjut untuk menyelesaikan tindakan intoleran di sekolah," katanya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (7/2). Dijelaskannya, kasus yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat yang menjadi latar belakang penerbitan SKB, bukan satu-satunya kasus intoleran dalam hal penggunaan seragam sekolah. Menurutnya, pihaknya mencatat ada 10 kasus yang muncul ke permukaan pada periode 2014-2021 di berbagai daerah, antara lain Denpasar, Maumere, Manokwari, Rokan Hulu, Banyuwangi, Gunung Kidul, hingga Sragen. "Bentuk intoleransi itu, bervariasi, mulai dari mewajibkan pemakaian jilbab hingga pelarangan jilbab dan pakaian panjang bagi siswi yang beragama Islam," ungkapnya. Ditambahkan Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Fahriza Marta Tanjung, SKB Tiga Menteri yang diterbitkan merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan tersebut mengatur pakaian seragam sekolah terdiri dari pakaian seragam nasional, pakaian seragam kepramukaan, dan pakaian seragam khas sekolah. "Pakaian seragam khas sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing," ujarnya. Dia menyebut, semenjak SKB diterbitkan muncul misinformasi di masyarakat. Dampaknya menimbulkan pertentangan tajam dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. "Pro dan kontra yang terjadi tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab pro kontra tersebut dapat menjadi amunisi tindakan intoleran lainnya," terangnya. Dikatakannya, sejumlah guru anggota FSGI mengungkapkan ada beberapa misinformasi yang terjadi terhadap SKB Tiga Menteri tersebut. Dia mencontohkan, kekhawatiran murid madrasah juga diberikan kebebasan memilih menggunakan jilbab atau tidak hingga kekhawatian guru pendidikan agama Islam yang selama ini mewajibkan penggunaan jilbab saat mata pelajaran agama Islam. Dia pun mengungkapkan bahwa FSGI menilai polemik terkait SKB telah mengarah pada pertentangan dan perdebatan antaragama. Padahal awalnya hanya sekadar urusan seragam sekolah. Untuk itu, FSGI meminta peran Kementerian Agama agar tidak sekadar melakukan pendampingan moderasi beragama tapi juga terlibat dalam sosialisasi. "Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga harus memastikan guru, siswa, dan pegawai sekolah yang memilih berbeda dari mayoritas pilihan warga sekolah mendapatkan pelindungan dari diskriminasi dalam lingkungan sekolah maupun proses belajar mengajar," katanya. Sementara itu, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menyebut SKB Tiga Menteri telah sesuai dengan amanat konstitusi. “Keluarnya SKB 3 Menteri mempertegas jaminan hak kebebasan beragama baik siswa, guru maupun tenaga kependidikan di sekolah,” tegasnya dalam keterangan tertulisnya. Dikatakan Zainut, dalam SKB itu juga ditegaskan adanya jaminan hak untuk memilih apakah akan menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa atau dengan kekhasan agama tertentu. Jadi dengan aturan ini, siswa yang beragama lain dari agama yang dianut mayoritas di sekolah tertentu dijamin hak beragamanya. Siswa tersebut dijamin untuk bebas memilih pakaian seragam yang akan dikenakannya. Dikatakannya, jaminan itu sejalan dengan ketentuan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan adanya hak kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut kepercayaan dan agamanya. "Untuk hal tersebut hendaknya masyarakat tidak perlu apriori terhadap penerbitan SKB 3 Menteri. Sebab tujuannya justru untuk melindungi hak asasi siswa, guru dan tenaga kependidikan di sekolah," terang Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat itu. Dia juga berpendapat, substansi SKB itu secara tegas menyebut tidak ada larangan untuk mengenakan seragam atau atribut agama tertentu. Adapun yang dilarang, adalah pemaksaan mengenakan seragam atau atribut agama di sekolah. "Ini artinya negara tetap membolehkan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan mengenakan pakaian sesuai keyakinan agama masing-masing. Dengan demikian tuduhan negara melakukan sekularisasi kurang tepat dan berlebihan," tegasnya. Wakil Ketua Umum PPP ini menuturkan, terbitnya SKB 3 Menteri sudah sangat sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang beragam, plural dan bhinneka. "Hadirnya SKB diharapkan dapat menghindarkan sikap berlebihan para pengambil kebijakan dalam membuat peraturan yang dapat mengganggu harmoni kehidupan beragama di masyarakat," ucapnya. Dikatakannya, dengan SKB diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat pendidikan untuk hidup dalam keberagaman dan kebhinekaan. "Sehingga akan melahirkan sikap keberagamaan yang inklusif dan toleran," ucapnya.(gw/fin) samb: Perlu Sosialiasasi Lebih Masif

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: