Soal Dewan Pengawas, DPR-Pemerintah Belum Deal

Soal Dewan Pengawas, DPR-Pemerintah Belum Deal

Arsul Sani >JAKARTA – Dewan Pengawas KPK dalam Daftar Inventarisir Masalah (DIM) yang diajukan pemerintah, masih menjadi topik pembahasan. Dari hasil diskusi antar fraksi dalam Panja (Panitia Kerja) RUU KPK, banyak yang belum setuju terkait usulan yang diajukan pemerintah tersebut. “Sementara belum ada kesepakatan. Dari sejumlah catatan dalam DIM pemerintah, DPR paa prinsipnya sepakat. Kecuali soal Dewan Pengawas. DPR masih keberatan. Namun, ini belum menjadi keputusan rapat. Ini adalah hasil diskusi fraksi-fraksi,” kata Anggota komisi III DPR RI, Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/9). Saat ditanya hal yang menjadi keberatan DPR, Arsul enggan menjelaskannya. Dia mengaku DPR tidak keberatan terkait DIM yang diajukan pemerintah dalam RUU KPK. Namun perlu ada dibahas lebih mendalam. “Secara prinsip tidak keberatan, Tetapi, masih ada bebeapa pembahasan terhadap substansi. Karena kalau prinsip sudah menyangkut politik hukum,” paparnya. DPR, lanjutnya, tidak masalah terhadap DIM pemerintah soal rentang waktu penyadapan dan pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) menjadi dua tahun. Berdasarkan draf RUU KPK yang menjadi usul inisiatif DPR RI disebutkan Dewan Pengawas KPK dipilih oleh DPR RI berdasarkan calon yang diusulkan Presiden. Sementara itu, Jokowi memiliki pandangan berbeda. Dewan pengawas KPK, dijaring oleh panitia seleksi dan diangkat oleh Presiden. Versi Presiden, anggota Dewan Pengawas KPK akan diisi tokoh masyarakat, akademisi dan antikorupsi. Bukan dari politisi, birokrat atau aparat penegak hukum aktif. Sementara itu, pengamat bidang hukum lembaga The Indonesian Institute, Muhammad Aulia Y Guzasiah menyatakan setiap lembaga kemungkinan besar ada oknum yang punya kepentingan. Termasuk di KPK. Namun keberadaan oknum tersebut tidak serta merta membuat KPK secara institusi kehilangan kredibilitasnya. “Pasti ada satu-dua orang yang punya kepentingan,” kata Aulia di Jakarta, Senin (16/9). Menurutnya, KPK sebagai institusi sangat diperlukan dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, keberadaannya harus didukung dan diperkuat. Munculnya KPK sebenarnya adalah untuk memicu lembaga penegak hukum lain. “KPK diberi kewenangan khusus sedemikian rupa dan berbeda dengan lembaga-lembaga lainnya,” imbuhnya. Terpisah, pengamat politik Nation-state Institute Indonesia (NSI Indonesia), Yandi Hermawandi menegaskan pimpinan KPK yang baru harus mampu memulihkan kepercayaan publik. “Publik tentu berharap sepak terjang pimpinan KPK baru yang lebih baik dari periode sebelumnya. Terutama di tengah isu pelemahan KPK,” ujar Yandi di Jakarta, Senin (16/9). Pimpinan KPK yang baru memiliki beban berat ke depan. Terlebih, pemilihan pimpinan baru KPK bersamaan dengan revisi UU KPK dari DPR dan pemerintah yang ditengarai akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut. “Pimpinan KPK yang baru merupakan hasil pilihan DPR yang sebentar lagi habis masa jabatannya. Sementara DPR sendiri dinilai sejumlah survei memiliki tingkat kepercayaan publik yang rendah,” jelasnya. Meski demikian, lanjutnya, mekanisme pemilihan pimpinan KPK yang baru sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Artinya lima komisioner KPK periode 2019-2023 sudah legitimate. Seperti diketahui, Komisi III DPR RI pada Jumat (13/9) dini hari melakukan pemilihan lima pimpinan KPK periode 2019-2023. Hasilnya Nawawi Pamolango (50 suara), Lili Pintauli Siregar (44 suara), Nurul Ghufron (51 suara), Alexander Marwata (53 suara) dan Firli Bahuri (56 suara). Komisi III DPR juga langsung mengadakan rapat antarpimpinan kelompok fraksi dan memilih Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023. Pada Senin (16/9), pimpinan DPR mengesahkan lima komisioner KPK yang telah dipilih Komisi III dalam rapat paripurna. Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing meminta pegawai KPK tidab berpolitik. Jangan sampai mereka menolak kehadiran lima pimpinan KPK yang baru. “Kalau menolak pimpinan baru KPK, mereka berpolitik,” tegas Emrus di Jakarta, Senin (16/9). Menurutnya, pegawai KPK tidak memiliki hak menyatakan menolak atau menerima pimpinan yang baru. Mereka, hanya perlu melaksanakan tugas sesuai undang-undang. Sehingga, siapapun pimpinan KPK periode 2019-2023 yang dipilih oleh DPR, para pegawai KPK harus patuh dan tunduk terhadap pilihan tersebut. “Pegawai KPK tugasnya bukan pro dan kontra terhadap pemberantasan korupsi. Tugasnya menjalankan undang-undang,” imbuhnya. Apabila pegawai KPK menilai ada pelanggaran undang-undang yang terjadi terhadap pimpinan baru, sebaiknya menempuh langkah hukum. “KPK lembaga hukum. Mereka harus memberikan pendidikan kepada masyarakat, yaitu penegakan hukum. Kalau penyerahan mandat, penolakan, berarti tidak bedanya orang-orang yang ada disitu bermain politik,” papar Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner ini.(rh/fin/acd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: