Puasa Ramadan Bukan Sekedar Seremonial

Puasa Ramadan Bukan Sekedar Seremonial

Amri Hariri, SIP., M.A. - Unit Perpustakaan UMP--

Amri Hariri, SIP., M.A.

(Unit Perpustakaan UMP)

"Ya ayyuhal-ladzina amanu kutiba 'alaikumus-siyamu kamā kutiba 'alal-ladzina min qablikum la'allakum tattaqūn." (Surah Al-Baqarah: 183)

Ayat yang disebutkan di awal tulisan ini, menegaskan pentingnya puasa sebagai suatu kewajiban bagi umat Islam. Allah SWT berfirman kepada orang-orang yang beriman bahwa puasa telah diwajibkan atas mereka, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya.

Namun, puasa memiliki dimensi yang lebih dalam daripada sekadar seremonial menahan lapar dan dahaga serta aktivitas lain yang dapat membatalkan puasa dari terbit wajar hingga terbenamnya matahari. Puasa itu memiliki maqashidus shaum  atau tujuan dari perintah ibadah puasa tersebut. 

Dalam ayat tersebut, Allah SWT mengingatkan kita bahwa puasa ditetapkan agar kita dapat mencapai tingkat ketakwaan yang lebih tinggi. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa salah satu tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa adalah la'allakum tattaqūn. Kata "la'alla" merupakan kalam taroji, yakni satu kata yang memiliki harapan untuk digapainya, yaitu ketakwaan (tattaqūn). 

Ketakwaan adalah keadaan batiniah yang mencakup ketaatan kepada Allah SWT, dan menjauhi segala larangan dan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Puasa Ramadan merupakan waktu yang tepat untuk meningkatkan kesadaran kepada Allah, memperdalam hubungan dengan-Nya, dan memperbaiki perilaku serta sikap hidup kita agar naik derajatnya menjadi pribadi yang muttaqin.

Itulah mengapa di bulan puasa kita diperintahkan untuk meningkatkan kualitas ibadah, seperti berdoa, membaca Al-Qur'an, berzikir, melakukan amal kebaikan dan segala aktivitas yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan melakukan ibadah-ibadah ini secara khusyu' dan ikhlas kita dapat memperkuat ikatan spiritual dengan Allah SWT.

Artinya, tujuan puasa bukan hanya sekedar menahan diri secara fisik, tetapi juga menguji dan melatih kesabaran, pengendalian diri, dan kekuatan spiritual kita. Ketika nafsu ini sudah melemah maka yang akan mendominasi adalah kebersihan spiritual, penguatan nafsul mutmainah. 

Jika hati dan jiwa telah dipenuhi dengan nafsul mutmainah, akan tercermin dalam perilaku dan karakter seseorang. Ketika hati sudah bersinar, sinarnya akan terpancar melalui di wajah (pasuryan), seperti matahari yang memancarkan cahayanya. Ini sebabnya, puasa memiliki pengaruh besar baik secara fisik maupun mental.

Ketika malam hari bertemu dengan Allah melalui shalat tarawih, jiwa mereka sudah sepenuhnya terkoneksi dengan dimensi spiritual, memungkinkan mereka untuk beribadah dengan khidmat. Maka aktivitas tarawih yang intens dan sering seperti itu seharusnya menjadi momen yang sangat memuaskan dalam hubungan spiritual dengan Allah SWT. Mengapa demikian? Karena selama siang hari, nafsu kita sudah ditundukan dengan puasa sehingga yang mendominasi adalah kebersihan spiritual. Kebersihan spiritual inilah yang memungkinkan mereka untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang melaksanakan shalat tarawih seharusnya merasakan kedalaman spiritualitasnya, dan itulah sebabnya perlu menjaga diri saat berbuka puasa agar nafsunya tetap terkendali.

Selain itu, memperbanyak sedekah (taktsir al-shadaqat) agar membawa manfaat sosial bagi lingkungan sekitar. Dengan demikian puasa melatih rasa empati, persaudaraan, kepedulian, dan belas kasih terhadap sesama, sehingga di akhir Ramadan diharapkan tercapai derajat ketakwaan yang sebenar-benarnya. Wallahu a’lam bishawab. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: