- Empat Orang Berhasil Diamankan
- Ditangkap Dalam Kasus Suap
JAKARTA - Badan Keamanan Laut (Bakamla) mendapat kado buruk pada momen ulang tahun ke-2 hari ini (15/12). Salah seorang pejabat Bakamla, Eko Susilo Hadi, yang menduduki jabatan Deputi Informasi Hukum dan Kerjasama terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap proyek pengadaan kemarin.
Eko merupakan jaksa senior di Kejaksaan Agung (Kejagung) yang ditugaskan di Bakamla. Selama menjadi jaksa, dia pernah berdinas sebagai Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Bangka Belitung pada 2010 dan Kepala Kejari (Kajari) Kualatungkal, Jambi pada 2007. Di Bakamla, dia pernah merangkap sebagai Plt Sekretaris Utama (Sestama) yang merupakan orang kedua di Bakamla.
Setelah sekian lama bertugas di Bakamla, Eko justru mencoreng nama baik lembaga yang dulu bernama Bakorkamla tersebut. Penangkapan itu dilakukan sehari jelang perayaan ulang tahun instansi tersebut. Parahnya lagi, Eko ditangkap di Kantor Bakamla di Jalan Proklamasi 56 Jakarta Pusat, kemarin.
Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo membenarkan penangkapan tersebut. Kata dia, informasi penangkapan itu disampaikan kepadanya kemarin (14/12) sekitar pukul 15.00. Saat itu, Arie tengah berada di Gedung Pola, yang juga kantor Bakamla, untuk mengurusi persiapan peringatan ulang tahun Bakamla hari ini.
"Saya dapat kabar yang bersangkutan ditangkap KPK karena pungli. Selain yang bersangkutan, ada staf beliau dan pihak penyuap juga (yang diamankan, Red.)," ujarnya di kantor Bakamla, kemarin.
Arie mengaku cukup kaget dengan informasi penangkapan tersebut. Sebab, Eko sendiri sudah mengajukan izin tidak bisa mengikuti persiapan peringatan ulang tahun Bakamla karena ada saudara yang meninggal dunia. "Terakhir kontak tadi malam. Dia bilang ada yang meninggal. Tadi pagi juga harus menyelesaikan pemakaman sehingga tidak bisa datang. Padahal semua kumpul," papar pria yang baru tujuh bulan menjabat Kepala Bakamla tersebut.
Arie belum tahu secara detil kasus yang menjerat salah satu stafnya. Namun, dijelaskan olehnya, bahwa Eko dalam tujuh bulan terakhir sedang merangkap juga sebagai Plt Sestama Bakamla. Dalam posisi itu, Eko memiliki kewenangan sebagai kuasa pemegang anggaran (KPA) dalam beberapa proyek.
Seperti revitalisasi sistem IT Bakamla yang meliputi pemasangan backbone (jaringan fiber optik), satelit monitor dan longrange kamera di seluruh Indonesia. Proyek tersebut diperkirakan menelan dana sekitar Rp 400 miliar. Dengan revitalisasi sistem IT, maka diharapkan mempermudah pemantauan wilayah laut Indonesia.
"Tapi (kini) sudah bukan sestama lagi. Kita sudah lantik yang baru tiga hari lalu. Kalau untuk kasusnya dan apa yang yang dijanjikan belum tahu. Karena setahu saya proyek sudah jalan tahap pertama," paparnya.
Arie menambahkan, bila yang bersangkutan nantinya benar ditetapkan tersangka maka pihaknya akan langsung memulangkannya ke pihak Kejagung. Eko sendiri sudah empat tahun bekerja di Bakamla.
Arie mengaku prihatin. ini kasus pertama yang terjadi di instansinya. Dia berharap ke depan tidak ada lagi staf yang berani main-main dengan anggaran. Dia pun akan meminta pihak kepolisian, kejaksaan dan mitra Bakamla yang lain untuk mengirim anggota yang kredibel. "Sejak saya datang sebagai kepala yang saya tekankan adalah profesional dalam penggunaan anggaran. Begitu dapat anggaran, langsung saya review ke BPKP sehingga proyek berjalan sesuai anggaran," ungkapnya.
Sementara itu, KPK juga membenarkan penangkapan terhadap pejabat Bakamla. "Ada empat orang yang diamankan," terang Jubir KPK Febri Diansyah di gedung KPK Rabu malam. Satu orang penyelenggara negara yang diduga sebagai penerima, dan tiga orang swasta yang merupakan pihak pemberi. Komisi antirasuah juga menyita sejumlah uang dan kendaraan.
Namun, dia masih enggan menyebutkan nilai uang yang disita penyidik. "Nilainya cukup signifikan," papar mantan aktivis ICW itu. Ia juga belum bersedia menjelaskan pecahan uang yang disita. Apakah pecahan rupiah atau dollar. Penyidik masih melakukan penghitungan terhadap barang bukti suap tersebut.
Febri menyatakan, keempat orang itu ditangkap di dua lokasi di Jakarta. Salah satunya di kantor lembaga pemerintah. Lagi-lagi ia juga bisa menjelaskan secara rinci lokasi penangkapannya. Mereka ditangkap siang hari. Selanjutnya, keempatnya digelandangan di kantor KPK di Jalan H.R Rasuna Said C1 Jakarta.
Menurut dia, perkara itu berkaitan dengan pengadaan barang di Bakamla yang sekarang sedang berjalan. Pengadaan itu menggunakan anggaran 2016. Ia juga belum bisa menjelaskan modus yang dilakukan pejabat Bakamla dalam melakukan kejahatan yang berkaitan dengan uang negara itu.
Saat ini, kata dia, penyidik masih terus melakukan pemeriksaan. KPK masih mempunyai waktu 1x24 jam sebelum menetapkan empat orang itu sebagai tersangka. "Informasi selengkapnya akan kami sampaikan besok (hari ini)," papar dia.
Menurut dia, jika ada oknum TNI yang terlibat, maka KPK akan berkoordinasi lebih lanjut dengan pihak TNI. Sebab, kewenangan komisinya terbatas. KPK hanya bisa menindak penyelenggara dari masyarakat sipil saja. Ia berharap, ada koordinasi dan komunikasi yang kuat antara KPK dan TNI dalam penegakan hukum di sektor kelautan.
Terkait status pihak swasta pemberi uang, Febri juga belum bisa menyampaikan. Tersiar kabar bahwa salah satu pemberi merupakan suami dari artis Ineke Koesherawati. Namun, dia belum mengetahui. Semua identitas pelaku akan dibeberkan pada konferensi pers yang akan digelar sebelum pukul 12.00 hari ini.
Penangkapan tersebut sangat bertentangan dengan apa yang Eko sampaikan saat menjadi pemateri pada Sekolah Pimpinan Menengah (Sespimmen) Polri Dikreg 56 2016 di gedung Soemarto Sespimmen Sespim Polri, Lembang, Bandung pada 1 November lalu. Dia mewakili Kepala Bakamla.
Saat itu dia menyampaikan materi mengenai peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum Indonesia. Menurut dia, inventaris masalah maritim Indonesia dan revolusi mental sumber daya manusia khususnya bagi peran penggerak penegakan hukum di laut sangat penting dilakukan.
Ia menyatakan, kondisi penegakan hukum di perairan Indonesia saat ini perlu disinergikan untuk menghindari adanya ketumpang tindihan kewenangan. Selain itu, perlu dilakukan revolusi mental di seluruh elemen penegak hukum, khususnya aparat penegak hukum di laut. ''Revolusi mental itu dapat dimulai dari perubahan pola pikir dan budaya kerja,'' ujarnya kala itu.
Ternyata apa yang dia sampaikan tidak sesuai dengan tindakan yang ia lakukan. Sekarang Eko harus menghadapi perkara yang membelitnya. (mia/lum/agm)