Sejak suaminya, Azhari, meninggal 1982 silam, Karsiah (65) hanya hidup sebatang kara. Anak tunggalnya, Rinah (36), juga meninggalkanya.
Karsiah saat ini tinggal di gubug sederhana di samping bengkel radiator, di Jalan Gerilya Timur, Berkoh, Purwokerto Selatan. Gubug yang sebenarnya tidak layak untuk tempat tinggal
Saat Radarmas menemuianya, Rabu (29/3) siang, Karsiah sedikit bingung. Sekaligus heran. Aroma tidak sedap tercium menyengat di dalam gubug Karsiah. Namun Karsiah tetap asik menyantap makan siangnya itu.
"Nggeh monggo," katanya mempersilahkan saya masuk ke gubugnya.
Meski kondisinya cukup memprihatinkan, Karsiah enggan meninggalkan tempat itu. Baginya gubug reot berukuran 2x3 meter dan tanpa listrik itu, memiliki kenangan manis saat masih berjualan nasi rames sekitar 15 tahun silam.
"Mboten pingin teng panti jompo. Enak teng mriki," jawabnya saat ditanya keinginan untuk tinggal di tempat yang lebih nyaman.
Tak hanya itu, alasan ia tetap bertahan di gubug tersebut, karena yakin bahwa suatu saat anaknya yang sedang bekerja di Jakarta akan datang menemuinya. Ia berharap anaknya membawakan modal berjualan nasi rames kembali.
"Ajeng sadean malih, tapi ngentosi arto saking anake, seniki seg teng Jakarta. Wangsule duko mboten njanjeni, butueh ajeng wangsul (Mau jualan lagi. Tapi nunggu uang dari anak saya, sekarang sedang di Jakarta. Kembalinya kapan tidak memberi janji. Yang penting pulang)," kata perempuan asli Tamansari, Karanglewas itu.
Sebenarnya, melihat fisiknya, kondisinya sudah tidak memungkinkan. Tubuhnya terserang stroke. Jalannya pun tertatih-tatih sambil menahan kesakitan. Wajahnya menggambarkan kisah pilu yang harus terus berjuang melawan penyakit demi menanti sang buah hati kembali.
Ia mengaku pernah dikunjungi anaknya saat lebaran tahun lalu dan diajak untuk tinggal bersama di Jakarta. Namun ia menolak, lantaran tak mau membebani anaknya. Bahkan sanak familynya pun masih banyak yang tinggal di Purwokerto, namun ia tidak mau tinggal bersama mereka.
"Riyin nate wangsul, ken tumut teng Jakarta, kulo mboten purun. Males, putune ora lumrah. Wonten sederek teng Sokawera, tapi moh teng mriko, mbok ngrepoti nambaih empan-empan (nambah biaya makan saudara)," katanya yang mengaku betah meski tinggal di tempat yang juga dijadikan untuk aktivitas BAB itu.
Sampai saat ini, Karsiah tidak tahu pasti kapan anaknya akan kembali. Ia hanya ingin tetap menunggu dan yakin bahwa suatu saat anaknya pasti kembali dan membawakan modal usaha baginya.
Karsiah sendiri, mengaku pernah memiliki rumah di Sokawera, Kelurahan Berkoh, Purwokerto Timur. Namun saat ini rumahnya sudah dijual Rp 80 juta, karena untuk membayar hutang.
Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, Karsiah hanya mengandalkan uluran tangan dari masyarakat. Jika tidak ada bantuan, Karsiah baru memberanikan diri ke tempat saudaranya untuk meminta makan. "Maeme diparingi tiyang. Ben dinten mesi wonten. Nek seg mboten wonten, nggeh mados teng nggen sedulure," ucapnya.
Kepergian sang suami tahun 1982 silam, merubah hidupnya menjadi seperti sekarang ini. Saat Azhari masih hidup, Karsiah mengaku hidup dengan berkecukupan. "Kulo riyin tah enak, seniki mboten. Riyin gadeh suami gajian, tapi seniki pun ninggal. Riyin nopo-nopo kecukupan," kisahnya.
Narto (43), pemilik bengkel radiator yang berada di sebelah gubug Karsiah menurutkan, Karsiah dulu adalah orang berada dan serba kecukupan. Namun entah mengaka, sekarang ini kondisinya cukup memprihatinkan. Bahkan ia yang berada di sebelah gubugnya, mengaku iba terhadapnya. "Dulu pernah jaya sekitar tahun 1995. Katanya dulu dia pernah punya mobil dan motor, kondisi di tahun itu, orang yang punya motor masih dibilang top. Dulu waktu masih sehat ya setiap hari ngobrol, tapi sekarang banyak diemnya," katanya.
(maulidin wahyu/acd)