PURWOKERTO - Kasus sewa pertokoan Kebondalem memang ruwet. Selain CV yang menyewakan juga tidak sama, lawa waktu sewa juga sangat lama. Sampai 30 tahun. Kontrak sewa tersebut ada yang atas nama CV Bali, ada pula yang atas nama PT Guna Graha Cipta Guna (PT GCG). Ada juga yang atas nama bupati Banyumas saat itu, Roedjito.
Paguyuban Pertokoan Kebondalem mengklaim, seluruh penyewa pertokoan di Kebondalem masih memegang bukti perjanjian kontrak sewa selama 30 tahun tersebut. Bahkan dalam perjanjian tersebut, juga tertera pihak pengelola berkewajiban membayar retribusi pasar setiap bulan.
BONGKAR Komplek Kebondalem yang sudah mulai ditinggal pedagang yang selama ini berjualan di sana. Sejumlah kios pedagang nampak sudah mulai dibongkar. DIMAS PRABOWORADARMAS
"Saya tidak hafal karena beda-beda bayar sewanya dulu. Tetapi kita semua ada perjanjiannya. Saat itu sewanya sekaligus 30 tahun. Kenapa orang tua mau menyewa 30 tahun sekaligus, karena orang tua dulu berharap, setelah ini selesai, bisa melanjutkan kembali sewa kepada Pemda. Tapi nyatanya ada persoalan seperti ini," kata Humas Paguyuban Pertokoan Kebondalem, Santoso kepada Radarmas, Selasa (21/3).
"Kalau kita tidak mengeluarkan pembayaran sewa, pasti sudah diusir dari dulu dan kita menempati sudah 30 tahun. Selain sewa, juga ada biaya retribusi setiap bulan sekitar Rp 150 ribu. Saat ini saja sudah tidak ada. Baru berhenti 2016 Desember. Yang narikin pun memakai seragam Pemda," jelasnya.
Pembayaran sewa tersebut, lanjut dia, saat itu ada yang melalui transfer bank dan giro. Dalam perjanjian itu, kata dia, berlakunya tidak sama, ada yang habis tahun 2008, 2012 hingga 2016.
Saat ini ia hanya bisa berharap persoalan tersebut bisa segera diselesaikan, dan pihaknya tidak lagi merasa tertekan dengan kondisi saat ini. Terlebih menurutnya, saat ini masih ada beberapa penyewa kios yang mendapatkan surat pengosongan dari PT GCG. Padahal dari Bupati dan Wakil Bupati sebelumnya, memerintahkan supaya diredam dulu.
"Kita bingung, sebenarnya kita harus ikut siapa. Sampai dengan hari ini juga masih ada anggota kami yang menerima surat perintah pengosongan dari PT GCG," tandasnya.
Salah satu anggota paguyuban, Tomi menyatakan bahwa Paguyuban Pertokoan Kebondalem tidak bermaksud melawan atau menekan pihak manapun. Mereka hanya butuh wadah untuk mencari jalan keluar atas persoalan selama ini. "Paguyuban hanya butuh tempat untuk bercerita dan memberi pandangan yang terbaik. Karena kami bingung dan tidak mengerti masalah ini, karena tidak ada sosialisasi sebelumnya," ceritanya.
Kondisi tersebut berbeda dengan yang dialami PKL Wiraniaga maupun non wiraniaga di kawasan Kebondalem. Menurut Ketua Paguyuban PKL wiraniaga Kelana Kebondalem, Mustangin (47), selama ini tidak ada biaya sewa tempat. Yang ada hanya biaya retribusi kebersihan yang disetorkan kepada pengelola Pasar Sarimulyo.
"Dulu masuknya retribusi kebersihan pasar. Yang memiliki Surat Penempatan Pedagang (SPP), sehari dua ribu rupiah. Kalau untuk lapak tidak dikenakan sewa, karena kita mandiri, kita bikin sendiri lapaknya," jelasnya terpisah.
Senada disampaikan Wakil Ketua Paguyuban PKL Kebondalem non Wiraniaga Kelana, Dodo (41). Menurutnya selama berjualan di Kebondalem, anggotanya tidak ada yang ditarik biaya retribusi. Bahkan untuk biaya retribusi kebersihan pun tidak pernah ada. "Kalo non wiraniaga tidak ada retribusi sama sekali," tandasnya. (why/acd)