Setia itu Pilihan, Selingkuh itu Kebutuhan

Rabu 21-09-2016,10:29 WIB

HUT Radar Banyumas ke 18 Keras Saja Tidak Cukup Zaman dulu, ada pertanyaan yang hampir selalu menghampiri penggawa Radar Banyumas. Terutama awak redaksi sampai percetakan. Misalnya : lagi libur ya pak? Santai nopo bu? Atau bahkan sudah nggak kerja ya? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul terkait keberadaan kami di rumah. Yang sampai jam 9, bahkan sampai sore, batang hidungnya masih kelihatan di rumah. Atau, kalau tidak, masih tidur sambil selimutan. Wajar saja. Bagi kebanyakan orang, jam 8 itu sudah masuk fase jam kerja. Apalagi orang-orang generasi Konstatinopel (meminjam istilah Pak Tasdi, Bupati Purbalingga) yang cenderung konservatif. Apalagi yang jam kerjanya teng-go : jam 8 teng masuk kantor, jam 4 sore go pulang kantor. Padahal, jam kerja di penerbitan koran memang tidak pasti. Teratur dalam ketidakteraturan. Ada yang berangkat siang pulang malam. Ada yang berangkat sore pulang dini hari. Ada yang berangkat malam pulang pagi. Bahkan, mungkin ada juga yang berangkat kerja siang hari, tapi sampai rumahnya baru dini hari. Refreshing sehingga perlu mampir-mampir cari hiburan malam dulu barangkali... Zaman sekarang, pertanyaannya beda lagi. Lebih kekinian. Dan to the point. Jika dirangkum, garis besar pertanyaannya begini : koran akan mati ya karena diserbu internet dan media sosial? Sampai bosan rasanya harus menjawab... Tak bisa dipungkiri, pertanyaan efek online bagi media massa konvensional terus bergema. Katanya, online membunuh media massa konvensional, terutama koran. Padahal, jawabannya simpel : online dan media sosial itu berbeda. Persepsinya menjadi sama karena pengguna medsos dianggap sebagai pengguna online secara keseluruhan. Cius? Silakan tanya mbah google saja kalau tidak percaya. Diri sendiri pun sebenarnya bisa melakukan survei kecil-kecilan untuk pembuktian. Bagi pengguna smartphone, silakan dicek. Berapa banyak kuota yang digunakan untuk bersosmed ria dibandingkan dengan browser, game dan lainnya. Bukti konkret lainnya? Para provider penyedia kuota juga hidupnya dari jualan paket kuota sosial media. Atau tanya ke Jack Ma. Tahun lalu, pendiri dan Executive Chairman Alibaba (yang selama ini gentayangannya di dunia maya) itu mengakuisisi koran South China Morning Post senilai USD 266 juta. Tebak, berapa nol-nya kalau dirupiahkan? Lantas, kenapa banyak koran mati belakangan ini? Ya tidak tahu juga hehehe. Yang pasti, banyak koran yang memang sudah mati jauh sebelum booming teknologi. Terutama koran-koran LGBT, alias koran yang memang orientasinya nggak jelas. Entah kenapa koran-koran itu tidak mau bersabar. Menunggu era teknologi datang, baru kemudian mati. Yang pasti, KIA mobil juga lebih dulu angkat kaki sebelum kedatangan Honda Sumber Baru mobil di Purwokerto. Yang pasti juga, maestro billiard yang terkenal di dunia hiburan Purwokerto juga sudah dialihfungsikan oleh pemiliknya. Yang pasti, friendster yang termasuk golongan internet dan media sosial pun sudah mati tho? Katanya medsos membuat media konvensional mati? Lha ini kok medsosnya yang mati? Entahlah.... Kesimpulan awamnya, yang namanya senjakala bisa menyapa siapa saja. Dan mati itu bisa kapan saja. Dengan cara apa saja. Bukan tergantung dunia maya. Selalu kembali ke pasal 1 : jodoh, umur, rejeki dan takdir itu hanya Tuhan yang tahu wkwkwk. Dan alhamdulillah, Tuhan belum mencabut nyawa Radar Banyumas, sehingga masih bisa merayakan ulang tahunnya. Di 21 September ini, usia Radar Banyumas genap 18 tahun. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pembaca dan rekanan yang telah mendukung selama ini. Karena semua pihak yang mendukung inilah, yang membuat Radar Banyumas sekarang makin jaya di Barlingmascakeb. Radar Banyumas tidak ada apa-apanya tanpa Anda para stakeholder. Termasuk dan terutama di tahun yang banyak orang menganggap sebagai tahun prihatin ini. Di saat koran-koran lain mengurangi oplah dan halaman, bahkan koran grup besutan koran regional Jawa Tengah sampai mati, Radar Banyumas masih bisa terus berinovasi dan menambah halaman. Bahkan, tak mau kalah dengan minum obat. Dalam rangka merayakan hari lahirnya, per 1 September lalu Radar Banyumas terbit dua kali sehari. Pagi dan sore hari. Dengan konten yang berbeda tentunya. Dan puncaknya adalah edisi yang terbit di tangan pembaca hari ini. Semoga dapat menikmati 32 halaman edisi ulang tahun Radar Banyumas ke 18 ini. Boleh dibaca sebelum atau sesudah makan.... Dan ini yang membanggakan. Hingga September ini, tidak terasa, market share Radar Banyumas terus bergerak. Naik di atas 40 persen! Itu berarti, kalau ada 100 ribu eksemplar koran di barlingmascakeb, maka lebih dari 40 ribunya adalah Radar Banyumas. Alhamdulillah. Sekali lagi, terima kasih kepada pembaca dan seluruh stakeholder Radar Banyumas. Meski demikian, kami tetap selalu mohon doa dan dukungannya. Supaya Radar Banyumas bisa terus eksis dan bermanfaat. Khusus dan terutama untuk masyarakat barlingmascakeb. Sebab, apapun itu, ujung-ujungnya ya memang harus bermanfaat. Baik dunia nyata maupun maya. Baik bersaing atau tidak bersaing. Yang penting manfaatnya jangan palsu seperti kartu BPJS palsu atau vaksin palsu yang sempat bikin heboh di 2016 ini. Jika sudah memberi manfaat yang pas, konsumen akan rela untuk membeli. Pelanggan pun akan makin setia. Bahkan harga menjadi pertimbangan ke sekian bagi konsumen. Seperti sebuah teori marketing : Tidak ada yg mahal asal tahu manfaatnya. Meski, tentu saja itu tidak semudah membalik telapak tangan. Atau setia kepada pasangan. Atau semudah orang Islandia memberi nama anak : Tinggal tambah nama bapak kita dengan akhiran son. Misal, nama saya Feldi. Dan saya ingin punya anak bernama Marcelo. Maka, nama anak saya sudah jelas : Marcelo Feldison. Tidak perlu sibuk mencari-cari arti nama dan terjemahannya. Itu kenapa pemain bola Islandia di Piala Eropa lalu berakhiran son semua. Dan saat ini, tidak ada yang bisa hanya dengan sekedar memberi 'imbuhan -son' lagi. Semua berubah. Berubah-ubah bahkan. Tren fashion misalnya. Dulu, siapa yang berani menggunakan warna-warna yang nabrak? Bisa dirajam para pemuka tren se-dunia nyata maupun maya karena melanggar kitab suci fashion. Saat ini? Color block atau gaya tabrak warna menjadi tren fashion yang sering digunakan selebriti Hollywood. Fungsi koran juga sudah berubah. Soal sepak bola saja misalnya. Dulu, koran adalah sumber informasi untuk mengetahui hasil-hasil pertandingan. Saat ini? Ya dihajar online kalau masih saja setia mempertahankan konsep koran sebagai sumber berita semata. Tidak akan ada yang mau baca karena sudah basi. Nah, karena fungsinya berubah maka kontennya juga harus ikut berubah. Berubahnya seperti apa? Ya mbuh ya hehe. Boleh terang-terangan dari pakem, atau selingkuh tapi indah. Pokoknya berubah. Dan dicari terus sampai pas sesuai kebutuhan di masanya. Termasuk mengubah konsep jualan koran dengan cara konstantinopel yang juga sudah tidak zaman lagi. Karena kerja keras saja sekarang tidak cukup. Dulu, sekedar ngasong koran sudah laku banyak. Sekarang, zamannya sudah beda. Sederhana saja, adapt or die. Jadi, tidak perlu lagi memusingkan kapan koran akan mati. Toh, katanya kita semua harus ingat akan mati tho? Karena, katanya, pada akhirnya semua akan mati. Berusaha dan berdoa saja kata para pemuka agama. Tinggal terserah masing-masing. Mau berusaha dan berdoa untuk mempercepat atau memperpanjang nafas. Sisanya, serahkan saja pada Yang Maha Esa hehehe. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait