Foto istimewa
MAKASSAR - Gempa berkekuatan 5,9 SR pukul 14.35.49 Wita, Kamis, 14 Januari, berlokasi di darat. Titik episenter atau pusat gempa pada 2,99 Lintang Selatan (LS) dan 118,89 Bujur Timur (BT).
Lokasinya pada jarak empat kilometer arah Barat Laut Majene, Sulawesi Barat. Hiposentrum atau pusat gempa di bawah permukaan bumi pada kedalaman 10 km.
Guncangan akibat gempa di Majene juga dirasakan hingga Kabupaten Paser dan Balikpapan di Kalimantan Timur. Warga Makassar juga merasakan guncangan. BMKG juga mencatat gempa susulan (aftershock) pada pukul 15.00 Wita dengan magnitudo maksimum 4,9 SR.
https://radarbanyumas.co.id/kisah-gempa-59-sr-majene-pasien-tenteng-infus-hindari-gedung-ambruk-khawatir-tsunami-warga-di-pesisir-mengungsi-ke-perbukitan/
https://radarbanyumas.co.id/gempa-majene-waspadai-tsunami/
Gempa yang terjadi merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat aktivitas sesar lokal. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault).
Gempa serupa juga terjadi pada 23 Februari 1969 lalu dengan lokasi yang tidak berjauhan. Namun, kekuatan jauh lebih besar, yakni 6,9 skala SR dan terjadi pada kedalaman 13 km. Korban dan kerusakan yang timbul juga jauh lebih besar.
Pada gempa yang terjadi Kamis 14 Januari 2021, terpantau kerusakan bangunan. Gempa pada 23 Februari 1969 menyebabkan 64 orang meninggal, 97 orang luka-luka dan 1.287 rumah serta masjid mengalami kerusakan. Dermaga pelabuhan pecah. Gempa tersebut juga menimbul tsunami dengan ketinggian empat meter di Pelattoang dan 1,5 meter di Parasanga dan Palili, wilayah Sulbar saat ini.
Kapuslitbang Kebencanaan Unhas, Prof Adi Maulana mengatakan, gempa yang terjadi di Majene disebabkan pergerakan Majene Fold Belt. Sesar naik Majene bergerak karena adanya desakan dari arah Timur. Gerakan ini disebabkan lempeng Banggai-Sula yang membentuk Pulau Banggai.
Patahan Banggai-Sula terus terus bergerak ke arah Timur membentur Pulau Sulawesi. Pergerakan itulah yang menyebabkan beberapa patahan di Sulawesi bergerak, termasuk Majene Fold Belt.
Beberapa catatan dan studi menerangkan bahwa Majene menjadi daerah yang rawan atas pergerakan tersebut. Peta Pusat Studi Kebencanaan tahun 2018, wilayah titik gempa yang telah dipetakan sebagai satu sistem patahan yang berarah Utara-Selatan. Harus diwaspadai adanya kemungkinan gempa susulan, tetapi paling berbahaya adalah bencana longsor dampak gempa.
Longsor disebabkan runtuhnya lereng-lereng akibat ketidakstabilan yang diakibatkan oleh getaran gempa. Utamanya di dekat kawasan titik gempa.
Daerah titik gempa disusun oleh batuan jenis granitik yang melapuk sangat tinggi serta batu gamping terumbu.
Sifat kedua batuan ini sangat mudah terjadi longsor, terutama di bagian lereng perpotongan dengan bukaan jalan dan pemukiman.
"Musim hujan saat ini akan menambah tingkat kerentanan bencana tanah longsor. Dilaporkan tadi, terjadi runtuhan batuan di ruas jalan Makassar-Mamuju, sehingga Mamasa, Mamuju, dan daerah ketinggian perlu mengantisipasi bencana longsor," imbau Prof Adi Maulana, Kamis 14 Januari.
Guru besar Teknik Geologi Unhas ini menuturkan, pergerakan Majene Fold Belt juga memengaruhi beberapa patahan yang bersinggungan. Beberapa di antaranya adalah Patahan Tapalang (Mamuju) dan Mamasa. Begitu pun dengan patahan yang ada di Walannae.
Namun, jika melihat aftershock, yang terjadi adalah pelemahan. Dapat dikatakan ada penyebaran energi yang terjadi. Catatan gempa yang disebabkan oleh Majene Fold Belt juga terbilang sangat jarang terjadi.
"Tapi tetap harus waspada karena yang namanya bencana seperti gempa, tidak ada yang bisa prediksi. Ingat, pergerakan patahan akan membuat patahan lain ikut bergerak untuk mencapai titik kestabilan," ujarnya.
Pria kelahiran Balikpapan 28 April 1980 ini menambahkan, pasca gempa, juga perlu dilakukan monitoring kawasan hulu sungai. Getaran akibat gempa akan menghasilkan fracture atau rekahan pada batuan atau tanah.
Jika rekahan ini dimasuki oleh air hujan, maka massanya menjadi bertambah dan terjadi longsor. Material longsor akan menutupi bagian hulu sungai. Bila tidak diantisipasi, akan mengakibatkan pendangkalan sungai dan tidak menutup kemungkinan lambat laun akan membentuk tanggul alam.
"Hal ini bisa menyebabkan terjadinya banjir bandang. Sudah seharusnya pengembangan lahan menjadikan faktor kebencanaan ini sebagai salah satu yang penting untuk kemaslahatan bersama," tambahnya.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Bambang Setiyo Prayitno menerangkan, guncangan gempa yang pertama dirasakan begitu kuat oleh warga di daerah Majene dan sekitarnya. Guncangan gempa itu bahkan terasa hingga Poso dan Parepare yang berada di Sulawesi Selatan.
Guncangan paling kuat dirasakan warga di daerah Polewali, Mamuju, dan Majene (Sulawesi Barat) dengan skala IV-V MMI. Lebih ringan yakni skala III-IV MMI, dirasakan warga di Mamuju Utara dan Mamuju Tengah, kemudian Mamasa (Sulawesi Barat).
Guncangan juga dirasakan di Sulawesi Selatan dengan skala lebih ringan yakni Toraja, Pinrang, Poso, Wajo, dan Parepare.
"Hasil pemodelan menunjukkan bahwa gempa bumi ini tidak berpotensi tsunami," ujarnya.
Bambang menambahkan, dari hasil analisis BMKG pada lokasi episentrum dan kedalaman hiposentrum, guncangan yang terjadi merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat aktivitas sesar lokal.
"Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault)" tambahnya. (edo/rif)