Wisata Seru ke Nusakambangan tanpa Lewat Pos Pengamanan

Jumat 20-05-2016,13:07 WIB

Lewat Bukit serasa Menelusuri Pelarian Johny Indo Pantai-pantainya elok. Hutannya menjadi tempat idaman ratusan jenis burung dan mamalia yang dilindungi. Nusakambangan kaya pula akan potensi wisata sejarah. Gunawan Sutanto, Cilacap DEBUR ombak Pantai Permisan sebenarnya membuat saya betah berlama-lama. Tapi, saya memilih beranjak lebih cepat karena tak ingin ada petugas yang datang dan bertanya-tanya. Sebab, saya salah kostum saat itu. Memakai batik dan membawa tas ransel. Maklum, tujuan awal perjalanan saya memang hanya mewawancarai seorang guru di Kampung Laut. Saya dan Hidayat si tukang ojek segera beranjak. Seperti yang ditawarkan di awal, Hidayat mengantarkan saya kembali ke Kampung Laut. Sekaligus mampir ke spot wisata lainnya via jalur atas (perbukitan). Titik awal jalur bukit itu melalui belokan gang kecil setelah melewati Lapas Permisan. Tak ada tetenger di belokan tersebut. Jadi, kalau bukan orang yang biasa ke sana, mungkin sulit menemukannya. Awalnya saya agak lega karena kondisi jalan di jalur atas terlihat lebih "manusiawi". Memang tak ada jalan beton atau paving seperti di jalur bawah. Tapi, sepintas jalan tanah dengan layer bebatuan kecil yang membelah hutan tampak mulus. Jalannya makin jauh juga makin lebar. Pemandangan jalur atas jauh lebih nyaman. Udara sejuk menyembul dari pepohonan tinggi di kanan dan kiri jalan. Melintasi jalur atas yang dikepung hutan itu, pikiran saya terbawa ke kisah pelarian Johannes Hubertus Eijkenboom alias Johny Indo, bos perampok paling berbahaya di Jakarta kala itu yang pernah ditahan di Lapas Permisan. Pada 1982 dia melarikan diri bersama 32 narapidana (napi) lain. Pelarian tersebut sempat diangkat ke layar lebar pada 1987 oleh sutradara Frank Rorimpandey. Johny memerankan dirinya sendiri di film itu. Dalam film yang juga dibintangi Mathias Muchus tersebut, diceritakan betapa berat pelarian Johny menembus hutan yang masih perawan plus banyak binatang buas. Pria yang kini menjadi ustad dengan nama Ki Umar Billah Al-Johny Indo itu sebelas hari bertahan dari pelarian. Termasuk terlama di antara napi yang kabur lainnya. Dan termasuk yang beruntung masih hidup. "Sampai sekarang kalau binatang buas masih ada," ujar Hidayat. Menurut dia, warga sekitar masih sering menjumpai ular berbagai jenis hingga macan kumbang. Bahkan, beberapa bulan lalu ada orang yang tewas setelah terlilit ular. Dia sendiri pernah melihat kijang meregang nyawa dimakan hidup-hidup oleh ular. Yang membedakan suasana pelarian Johny Indo dengan pelesiran saya mungkin kondisi hutan. Di beberapa titik, hutan di Nusakambangan tak lagi layak disebut perawan. Mungkin lebih tepat hutan janda. Sebab, pembalakan liar mulai merambah beberapa titik. Saya melihat sendiri pohon-pohon di perbukitan yang digunduli. Dari hasil riset yang saya dapat dari Center for Detention Studies (CDS), salah satu persoalan Pulau Nusakambangan memang pembalakan liar. Praktis itu sangat mengancam ekosistem Nusakambangan. Pembalakan tersebut kebanyakan dilakukan warga pendatang yang masuk melalui jalur ilegal. Ada yang bilang mereka dari sekitar Pangandaran dan Ciamis, Jawa Barat. Kebanyakan yang disasar warga adalah pohon albasia. Menurut Hidayat, pohon-pohon itu dimanfaatkan untuk tripleks. Beberapa kali saya memang berpapasan dengan motor-motor buntut. Roda motor itu dililit rantai dan potongan kayu gelondongan. "Rodanya dililit rantai biar masih bisa jalan di lumpur," ujar Hidayat. Rupanya, motor-motor itulah yang ikut menyumbang kerusakan jalan di jalur atas. Ya, perasaan lega saya akan kondisi jalan di jalur atas memang hanya sesaat. Ternyata, semakin jauh dari Lapas Permisan, kondisi jalan makin rusak. Saya bahkan sempat mencopot sepatu untuk membantu mengangkat motor Hidayat yang terjerembap di lumpur. Kedalaman jalan yang menjadi lumpur memang mengerikan. Ada yang selutut. Setidaknya ada lima kali motor yang saya tumpangi harus diangkat. Kaki-kakinya sudah tak mampu bergerak menahan cengkeraman lumpur. Untung, di jalur bukit banyak spot yang bisa saya datangi. Misalnya sisa-sisa bangunan benteng Hindia Belanda. Setelah saya cek ke teman saya yang seorang penulis buku Benteng-Benteng Surabaya, Ady Setiawan, ternyata benteng yang saya temui itu bernama Klingker atau Banjoenjapa. "Sebagai penghasil minyak, Cilacap itu kota penting bagi Belanda. Jadi, di sana ada tiga benteng. Benteng Pendem di Cilacap dan Benteng Klingker serta Karang Bolong di Nusakambangan," ujar Ady. Dari data yang dimiliki Ady, Benteng Klingker awalnya memiliki bentuk seperti menara dua lantai yang dihubungkan dengan tangga. Sayang, sisa-sisa kemegahannya sudah tak tampak. Kondisinya rusak parah dan dibiarkan tertutup semak belukar. "Beberapa waktu lalu di sini masih ada patungnya, sekarang kok tidak ada lagi?" kata Hidayat yang ikut bersama saya masuk ke pinggiran benteng yang tampak menyeramkan itu. Tak jauh dari Benteng Klingker ada Gua Maria. Sayangnya, saya tak punya banyak waktu untuk masuk ke gua itu. Saya hanya melihat dari luar. Sebab, saya harus kembali ke Cilacap dengan naik perahu yang ditumpangi guru-guru. Jika terlambat ke Kampung Laut, saya harus menginap untuk menunggu compreng umum keesokan harinya. Selain Gua Maria, di perbukitan Pulau Nusakambangan terdapat gua lainnya. Di bagian barat ada Gua Maria dan Gua Masigit Sela. Di sisi tengah ada sembilan gua, antara lain Merah, Ratu, Lawa, Sendang Putri, Pasir, Tulang, Tutul Kumbang, dan Wili. Adapun di sisi barat ada Gua Gantung dan Raja Naga. Sisa waktu yang ada saya gunakan untuk menuju pantai yang segaris dengan Permisan, yaitu Kalijati. Dibutuhkan beberapa menit untuk sampai ke Pantai Kalijati. Saya hanya menikmati keelokannya dari atas bukit. Lagi-lagi karena waktu yang terbatas. Seperti di Permisan, Pantai Kalijati juga sepi. Padahal, seperti Permisan, pemandangannya juga indah dengan pasir putih merona. Di Nusakambangan ada beberapa pantai yang bisa dinikmati dan ditempuh dari Kampung Laut. Dari timur ke barat ada Pantai Permisan, Kalijati, Bantarpanjang, dan Pasir Putih. Dari sisi yang lain saya juga bisa melihat keindahan Segara Anakan. Bukan hanya soal wisata. Bahkan, dengan kondisi hutannya yang seperti sekarang ini, Pulau Nusakambangan tetap menjadi idaman burung-burung. Ada 153 jenis burung, sebagian sulit ditemui di tempat lain, yang masih tinggal di hutan-hutan di sana. Misalnya bultok jawa, kangkareng, julang, elat laut, hingga alap-alap sapi. Merujuk penelitian Nature Conservation in Indonesia (Gibbon Foundation) yang dikutip CDS, selain burung, di Pulau Nusakambangan ada berbagai jenis mamalia yang masuk daftar dilindungi. Mereka antara lain kera ekor panjang, lutung jawa, harimau jawa, macan kumbang, berang-berang bulu licin, berang-berang cakar kecil, dugong, dan lumba-lumba trawadi. Ada juga reptil yang sudah masuk daftar kepunahan, yakni penyu hijau. Hewan tersebut sering kedapatan bertelur di sepanjang pantai Pulau Nusakambangan. Kondisi itulah yang membuat Nusakambangan layak menjadi tempat konservasi bernilai tinggi. Direktur Eksekutif CDS Gatot Goei yang beberapa tahun meneliti di Nusakambangan mengatakan, pulau dengan luas 121 km persegi tersebut sejatinya menyimpan potensi luar biasa. Gatot juga telah memaparkan ide pengembangan Pulau Nusakambangan untuk menjadi pariwisata ke Kementerian Hukum dan HAM. Baik wisata alam maupun wisata sejarah penjara di Indonesia. Namun, saat ini upayanya masih terhalang fungsi Nusakambangan sebagai tempat lembaga pemasyarakatan. Bahkan, penjara-penjara di Nusakambangan termasuk high risk karena dihuni napi dengan hukuman tinggi. "Jadi, kalau digunakan sebagai tempat pariwisata, harus diikuti dengan pengawasan yang tinggi pula," katanya. Pengawasan tak begitu ketat seperti saat ini yang membuat orang luar seperti saya atau warga Kampung Laut leluasa mendekat ke objek-objek vital di Nusakambangan. Sepanjang perjalanan menyusuri pinggir hutan bakau atau hutan, saya sebenarnya melihat beberapa pos penjagaan, tapi tanpa aktivitas. Terlebih di dalam hutan. Saya hanya melihat satu pos penjagaan yang dibangun dari kontainer. Pos dengan cat biru tua di persimpangan jalan menuju Pantai Kalijati itu cukup bagus. Dari luar tampak ada perangkat air conditioner (AC). Namun, saat saya hampiri, kondisinya melompong. Setelah dari Pantai Kalijati, saya dan Hidayat mengarah pulang. Jalan pulang ke Kampung Laut via jalur atas lebih banyak turunan. Kemiringannya luar biasa curam. Yang mendebarkan, jalan turun itu terbentuk dari tumpukan-tumpukan batu yang tak rata. Bisa dibayangkan betapa sulitnya berkendara di sana. Keseimbangan pengemudi harus stabil. Saya yang diboncengkan juga terpaksa sering menahan gerak. Meskipun posisi pantat saya tak pas dengan dudukan motor akibat guncangan. Begitu jalanan mulai landai dan tampak rumah penduduk, perasaan waswas langsung sirna. Perjalanan pun saya tutup dengan menyantap nasi rames jangan (sayur) lombok khas Cilacap di warung yang tak jauh dari Dermaga Klaces. Sedap! Seperti perjalanan saya yang ngeri-ngeri sedap. (*/c9/ttg)

Tags :
Kategori :

Terkait