Awas Liberalisasi Omnibus Law dalam Sektor Alat Pertahanan

Sabtu 17-10-2020,11:00 WIB

JAKARTA - Ada celah liberalisasi dalam UU Omnibus Law. Celah berbahaya itu ada dalam hal kepemilikan modal dan pengawasan. Khususnya alat utama pertahanan. Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menegaskan, berdasarkan UU Omnibus Law pasal 52 ayat 1 menyatakan bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama, dimiliki oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha dalam negeri. https://radarbanyumas.co.id/naskah-cipta-kerja-sampai-ke-jokowi-812-halaman-pemerintah-daerah-mulai-disosialisasikan/ “Undang-undang Omnibus Law ini mengubah lanskap industri pertahanan Indonesia. Sebelumnya dalam UU nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan pasal 11 disebutkan bahwa Industri alat utama hanya pemerintah yang menugaskan kepada BUMN pertahanan sebagai pemandu utama untuk memproduksi industri alat utama,” terangnya. Namun, lanjut Sukamta, kini pihak swasta bisa masuk ke industri alat utama. Permasalahan kemudian muncul ketika sebuah industri strategis bisa dikuasai oleh pihak swasta. “Modal perusahaan swasta bisa saja berasal dari asing walaupun status perusahaan tersebut merupakan badan usaha dalam negeri”, ujarnya. Menurut Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini, kepemilikan modal menjadi krusial karena menyangkut arah, kebijakan usaha, kerahasiaan data terkait produksi alat utama pertahanan dari perusahaan swasta. “UU ini jelas akan banyak mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) khususnya dalam hal penanaman modal di bidang alat utama pertahanan. Selama ini, sesuai dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang DNI badan usaha alat utama mensyaratkan 100 persen modal berasal dari dalam negeri,” terang Sukamta. Namun, imbuhnya, dengan masuknya badan usaha dalam negeri non pemerintah maka bisa jadi tidak harus 100 persen modal berasal dari dalam negeri. “Jangan sampai niat untuk memperkuat industri pertahanan dalam negeri menjadi liberalisasi industri yang ujung-ujungnya pihak asing yang menikmati,” katanya. Ia menyatakan kondisi dari perusahaan plat merah di bidang militer masih memprihatinkan. “Minim modal, minim dukungan riset dan development, minim dukungan penjualan jadi faktor-faktor penyebab industri pertahanan Indonesia lesu darah,” beber Sukamta. Liberalisasi yang akan terjadi akibat UU OBL ini membuat BUMN bidang militer sulit berkembang. Saat ini praktis hanya Pindad yang eksis dalam industri alat utama pertahanan. Namun, perkembangan Pindad dalam sektor bisnis terbilang biasa-biasa saja. Pada 2019 misalnya, perolehan kontrak baru Rp7,31 triliun yang menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp3.39 triliun dan laba bersih hanya Rp101,07 milliar. Padahal di 2019 anggaran alutsista TNI mencapai Rp11,33 triliun namun dari anggaran tersebut lebih dari 40 persen dipergunakan untuk membeli alutsista impor. Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Polhukam ini membeberkan ada BUMN bidang militer yang lebih parah kondisinya karena telah melenceng dari tujuan awal didirikan. Ia melanjutkan, ada BUMN plat merah dengan core bisnis sesuai niat awal didirikan ialah bahan peledak, malah bisnis sektor militer hanya Rp92,6 milliar artinya kurang dari 5 persen dari total pendapatan tahun 2018 yang mencapai Rp1,9 triliun. Pendapatan usaha perusahan paling besar berasal dari usaha tambang umum dengan nilai Rp1,16 triliun, konstruksi sebesar Rp518 miliar dan sektor migas Rp 213 miliar. Nama BUMN itu PT Dahana,” pungkasnya. Sukamta kemudian mengingatkan bahwa, dalam konteks bisnis pembukaan peluang swasta dalam bisnis alat utama pertahanan menarik namun perlu di ingat bahwa membuka bidang usaha tertutup dan strategis ini ibarat mata pisau. Bisa jadi pertahanan Indonesia semakin kuat atau sebaliknya tumpul. “Bab perizinan industri pertahanan kini tidak lagi dibawah Kemenhan. Kemenhan hanya jadi pengawas. Maka, soal izin ini harus ketat, tegas dan terukur. Agar bisa sesuai tujuan yaitu memperkuat pertahanan Indonesia. Jangan sampai liberalisasi industri pertahanan ini membuat ada kekuatan militer tidak resmi diluar institusi militer Indonesia. Kita harus belajar dari pengalaman negara-negara lain yang membebaskan industri pertahanannya. Akibatnya ada kekuatan yang sulit dikendalikan diluar institusi militer negara.” papar Anggota Komisi I DPR RI ini. Pro kontra mengenai UU Omnibus Law masih terus berlanjut, setelah perkara jumlah halaman kini mulai ke hal substansi pasal-pasal yang telah disetujui. Salah satu yang ramai diperbincangkan ialah masuknya Industri swasta dalam industri alat utama. Pemerintah berdalih cara ini bisa menggairahkan industri. Sebelumnya. Juru bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak menjawab soal industri pertahanan di UU Cipta Kerja. Menurutnya, RUU Cipta Kerja klaster pertahanan merevisi beberapa pasal dari UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan menjadikan sektor ini dinamis dan progresif untuk investasi. Menurutnya, banyak swasta yang ingin masuk ke industri pertahanan. Dengan UU Cipta Kerja, swasta bisa berkontribusi. "Dengan revisi Pasal 11 dari UU Industri Pertahanan melalui UU Ciptaker, menjadikan mereka berkreativitas, dan berinvestasi lebih besar bagi pertahanan negara," sebut Dahnil. Ia mengajak semua pihak melihat UU No 16 yang dibuat 8 tahun lalu. Saat itu, kata dia, kondisi BUMSwasta lokal bidang pertahanan belum dinamis seperti sekarang. Terkait adanya kemungkinan perubahan daftar negatif investasi (DNI), itu nantinya di ranah peraturan pemerintah di mana nanti Kemhan tetap menjadi kendali regulasi dan pengawasan, dan tentu Kemhan tegas berdiri bagi kepentingan nasional. Industri alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalnhankam) dari hulu sampai hilir tetap dikontrol penuh oleh Kemenhan. Aturan teknis mengenai hal ini bakal dituangkan dalam aturan turunan seperti perpres, PP, atau kepmenhan. "Perlu dipahami, perubahan industri pertahanan di UU Ciptaker ini sudah sesuai dengan instruksi Pak Presiden dalam HUT TNI ke-75 di mana untuk menguasai lompatan teknologi terkini kita harus mengubah kebijakan belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan. Jadi tidak benar bahwa inhan (industri pertahanan) kita bisa dan diberikan kepada asing. Kemhan yang 'mengendalikan-mengatur' terkait inhan di Indonesia," tandasnya. (khf/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait