Setelah diberondong kritik tajam terkait mahalnya harga tes usap PCR (polymerase chain reaction), akhirnya pemerintah menetapkan tarif maksimal PCR Covid-19 sebesar Rp 900 ribu. Ternyata problem ini belum juga tuntas.
Kembali muncul sorotan terkait harga jual obat merk Covifor yang begitu tinggi. Obat ini diyakini mampu meredam mereka yang telah terpapar virus asal Wuhan, Cina.
https://radarbanyumas.co.id/sebaran-vaksin-102-451-500-orang-oktober-vaksin-corona-diumumkan/
https://radarbanyumas.co.id/makin-hari-makin-cemas-menunggu-vaksin/
Pemerintah memutuskan akan mendistribusikan remdesivir untuk menangani pasien Covid-19 di Indonesia.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sudah sudah memberikan izin kepada PT Kalbe Farma Tbk yang akan menjual dengan merk Covifor itu.
Dari data yang didapat Fajar Indonesia (FIN) yang dilansir Gilead Sciences Inc, produsen remdesivir di AS. Obat tersebut dibandrol US$ 2.340 atau sekitar Rp33 juta untuk pengobatan selama lima hari.
Yang menarik, obat ini hanya didistribusikan kepada rumah sakit saja, tidak ke instansi lain termasuk apotek. Keampuhan remdesivir dalam mengobati pasien virus corona masih dipertanyakan. Dan sebenarnya Remdesivir ini sudah terlebih dulu digunakan untuk pengobatan pasien Covid-19 di Amerika Serikat.
Food and Drug Administration US (FDA atau BPOM) telah mengizinkan penggunaan remdesivir pada pasien dengan gejala sedang dan berat mulai Mei lalu. Penggunaan remdesivir setelah data menunjukan bahwa penggunaan antivirus ini dapat mempersingkat waktu pemulihan pasien menjadi rata-rata 11 hari.
Nah, pada Agustus lalu, FDA menerbitkan izin penggunaan remdesivir untuk pasien rawat inap yang tidak membutuhkan bantuan oksigen. Meski FDA telah memberikan izin penggunaan remdesivir, tetapi dokter dan peneliti masih mempertanyakan efektivitas obat tersebut.
Untuk kasus di Amerika, tingkat kematian tak berkurang secara signifikan meski menggunakan remdesivir. Saat ini jumlah kematian di AS sebanyak 211 ribu orang.
Obat tersebut memiliki beberapa manfaat, tetapi tidak jelas seberapa besar manfaatnya. Setiap orang menunggu data kematian yang lebih baik.
Penetapan harga obat yang besar, ternyata tidak berdampak besar. Mahalnya obat tersebut membuat beberapa rumah sakit di AS menolak sepertiga pasokan yang dialokasikan untuk belanja obat remdesivir.
Alasannya, obat ini dianggap terlalu mahal untuk digunakan pada pasien tahap sedang.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang juga Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan meminta produsen farmasi nasional mempercepat produksi remdesivir.
”Dalam kondisi seperti ini harus diupayakan untuk segera produksi dalam negeri. Kita cari bahan-bahannya itu nanti, jadi jangan ada hambatan,” terang Luhut dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/10).
Bio Farma sebagai produsen farmasi nasional segera mengambil langkah yang cepat dan tepat agar bahan baku untuk produksi nasional dapat segera dilakukan. ”Ini demi kepentingan nasional,” singkatnya.
Terpisah, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengaku telah telah mengurus izin untuk memproduksi remdesivir. ”Perlu diampaikan, kami akan melakukan uji klinis nanti kerja sama dengan BUMN. Kedua, di samping izin impor, kami juga sedang riset untuk produksi dalam negeri,” terangnya.
Bio Farma, menurut Honesti, juga telah melakukan uji klinis skala pilot untuk produksi remdesivir dalam negeri.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam rakor tersebut mengaku siap mem-backup kebutuhan obat apapun.
”Pasti akan kami dukung karena kami tinggal ajukan dan adakan bersama dengan BUMN dan bersama dengan BPOM kami akan koordinasi supaya segala sesuatu tepat sasaran, tepat waktu dan kita tidak membuat kebijakan yang justru kita tidak bisa menyelamatkan (pasien COVID-19) seperti apa yang Bapak (Menko Luhut) sampaikan,” jelasnya.
Nah, berdasarkan keterangan pada situs Departemen Kesehatan AS (NIH), remdesivir berperan untuk menghambat replikasi virus. Departemen Kesehatan AS merekomendasikan penggunaan remdesivir untuk pasien Covid-19 tahap berat selama lima hari atau sampai pasien ke luar dari rumah sakit.
Apabila tidak terdapat perbaikan klinis dalam jangka waktu tersebut, maka beberapa ahli menyarankan untuk memperpanjang durasi penggunaan obat hingga 10 hari.
Pemberian remdesivir di Indonesia masih akan diujicobakan kepada 25 pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta. Pasien akan diberi antivirus melalui infus sebanyak 200 mg pada hari pertama.
”Hari berikutnya, bisa 5 sampai 10 hari ke depan (diberi remdesivir) sebanyak 100 mg saja,” kata Erlina Burhan, konsultan dokter Gugus Tugas Covid-19 yang merupakan dokter spesial paru-paru.
Adapun, 25 pasien yang akan diujicobakan ini harus berusia di atas 18 tahun dan menderita Covid-29 dengan kategori berat yang artinya saturasi oksigennya di bawah 94 persen. Kemudian, kriteria lainnya adalah pasien yang sedang menjalani ventilator mekanik.
Ia menjelaskan, remdesivir adalah antivirus dengan cara kerja menghambat replikasi virus. ”Mudah-mudahan kalau masuk remdesivir, replikasi virus dihambat sehingga tidak terjadi keparahan yang lebih lagi. Kemudian sistem imun akan bisa mengendalikan,” kata Erlina.
Cara mencegah penularan Covid-19 paling ampuh sampai saat ini adalah dengan menjaga jarak, memakai masker, dan rutin mencuci tangan. Ketiganya penting untuk dilaksanakan sambil menunggu vaksin.
Guru Besar pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan remdesivir belum terbukti sebagai antivirus dan perlu pengujian untuk dianggap sebagai obat penderita Covid-19.
”Istilahnya bisa dibilang terapi empirik sehingga digunakan untuk kepentingan emergensi,” kata Ari.
Ari juga menekankan saat ini belum ada obat yang terbukti dapat mengobati pasien Covid-19. Para peneliti di dunia masih berjibaku meneliti pengobatan yang tepat untuk Covid-19.
”Semuanya dalam tahap riset baik obat tunggal dan kombinasi, kita semua masih menunggu,” imbuhnya.
Berkaitan dengan mahalnya harga PCR, Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir menjelaskan, harga tersebut telah mencakup pengambilan spesimen dengan metode swab dan pemeriksaan PCR.
”Dua komponen ini disatukan dengan biaya total 900 ribu rupiah,” kata Kadir dalam konferensi pers virtual.
Dia meminta seluruh Dinas Kesehatan mengawasi penerapan tarif tes PCR ini agar tidak ada lagi disparitas harga. Menurut Kadir, harga yang ditetapkan oleh pemerintah telah memperhitungkan berbagai komponen seperi jasa dokter, harga reagen, alat pelindung diri untuk petugas, hingga biaya administrasi.
Sebelum ada penetapan harga ini, tarif tes PCR yang dilakukan secara mandiri berkisar Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta. Sejumlah pihak juga telah menyuarakan agar pemerintah menetapkan standar tarif tes PCR ini.
Ketua DPR RI Puan Maharani sebelumnya mengatakan bahwa harga tes yang terjangkau akan meningkatkan minat masyarakat untuk melakukan tes mandiri dan membantu pemerintah mengendalikan Covid-19.
Indonesia secara nasional belum mampu memenuhi standar tes minimum yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebanyak 1 tes per 1.000 penduduk per pekan.
Berdasarkan laporan perkembangan situasi terakhir yang diterbitkan WHO pada Kamis (1/10), baru tiga provinsi yang secara konsisten memenuhi standar WHO selama tiga minggu terakhir yakni Jakarta, Sumatra Barat, dan Papua Barat.
Sementara itu, Yogyakarta baru memenuhi standar WHO selama dua pekan terakhir. Jakarta menjadi provinsi dengan kapasitas tes tertinggi di Indoesia karena mampu mengetes lebih dari 60 orang per 10 ribu penduduk per minggu. (fin/ful)