Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) kembali mengabulkan upaya Peninjauan Kembali (PK) yang dilayangkan dua orang koruptor. Total 22 koruptor mendapat potongan hukuman sepanjang 2019-2020. Nasib pemberantasan korupsi pun dinilai semakin suram.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai nasib pemberantasan korupsi pada masa mendatang makin suram jika MA tetap mempertahankan tren vonis ringan terhadap pelaku kasus korupsi.
Dikatakannya, rata-rata hukuman pelaku korupsi sepanjang 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
https://radarbanyumas.co.id/jenderal-polisi-disebut-minta-rp-7-miliar/
"Tidak hanya itu, pemulihan kerugian negara juga sangat kecil. Jika ditotal, negara telah rugi akibat praktik korupsi sepanjang tahun 2019 sebesar Rp12 triliun. Akan tetapi, pidana tambahan berupa uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp750 miliar. Sepuluh persennya saja tidak dapat," katanya, Rabu (30/9).
Kurnia juga menyebut dari total 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada tahun 2019, sekitar 842 orang divonis ringan (0—4 tahun), sedangkan vonis berat hanya sembilan orang (di atas 10 tahun).
"Belum lagi vonis bebas atau lepas yang berjumlah 54 orang," ungkap Kurnia.
Dikatakannya putusan hakim yang kerap kali ringan terhadap pelaku korupsi memiliki implikasi serius.
Pertama, menegasikan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai pihak terdampak korupsi.
Kedua, lanjut dia, melululantahkkan kerja keras penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan KPK) yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi.
"Ketiga, menjauhkan pemberian efek jera baik bagi terdakwa maupun masyarakat," ujarnya.
Terkait dengan hal tersebut, ICW pun lantas menyinggung ketiadaan sosok Artidjo Alkostar di MA yang telah purnatugas sebagai hakim agung.
"Dalam kondisi peradilan yang makin tak berpihak pada pemberantasan korupsi, memang harus diakui bahwa masyarakat merindukan adanya sosok seperti Artidjo Alkostar lagi di Mahkamah Agung," katanya.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango pun menyuarakan keprihatinannya. Ia meminta MA untuk memberikan argumen atau legal reasoning pengurangan hukuman tersebut agar tidak menimbulkan kecurigaan publik.
"legal reasoning pengurangan hukuman-hukuman dalam perkara-perkara a quo agar tidak menimbulkan kecurigaan publik tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi," tuturnya.
Ia memandang, fenomena sunatan hukuman koruptor kini seakan marak sepeninggalan Artidjo Alkostar yang pensiun sebagai hakim agung pada 2018 lalu.
"Terlebih putusan-putusan PK yang mengurangi hukuman ini marak setelah Gedung MA ditinggal sosok Artijo Alkostar. Jangan sampai memunculkan anekdot hukum bukan soal hukumnya tetapi siapa hakimnya," kata dia.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah menerangkan majelis hakim memiliki independensi yang tidak dapat dipengaruhi siapapun saat memutus suatu perkara. Ia menegaskan, setiap putusan yang dijatuhkan juga mementingkan rasa keadilan.
"Memutus perkara merupakan kewenangan hakim, sesuai dengan rasa keadilan majelis hakim yang bersangkutan. Hakim atau majelis hakim memiliki independensi yang tidak bisa dipengaruhi siapapun," tandas Abdullah.
Abdullah meminta kepada seluruh lapisan masyarakat agar mengormati putusan hakim. Ia pun mengingatkan bagi siapapun agar lebih bijak membaca putusan terlebih dulu sebelum melontarkan komentar.
"Setelah mengetahui legal reasoningnya baru memberikan komentar, kritik maupun saran saran. Putusan tidak bisa dipahami hanya dengan membaca amarnya saja," ucapnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri menyatakan, lembaga antirasuah hingga kini belum menerima salinan putusan lengkap sebanyak 22 perkara yang mendapat pengurangan hukuman dari MA. Ia berharap MA dapat segera mengirimkan salinan tersebut agar bisa dijadikan pembelajaran lebih lanjut oleh KPK mengenai pertimbangan majelis hakim.
"Saat ini setidaknya masih ada sekitar 38 perkara yang ditangani KPK sedang diajukan PK oleh para napi korupsi," ucap Ali.
Ali mengatakan, para pemangku kepentingan dan masyarakat sepakat bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang berdampak besar terhadap kehidupan manusia. Maka dari itu, salah satu upaya untuk memberantas korupsi yakni melalui pemberian efek jera dalam menghukum koruptor agar calon pelaku lain tidak akan melakukan kejahatan yang sama.
Ia pun mengingatkan PK jangan sampai dijadikan modus baru bagi koruptor untuk mengurangi hukuman. Sekalipun PK merupakan hak terpidana.
"Fenomena ini seharusnya dapat dibaca bahwa sekalipun PK adalah hak terpidana namun dengan banyaknya permohonan PK perkara yang misalnya baru saja selesai eksekusi pada putusan tingkat pertama jangan sampai dijadikan modus baru para napi koruptor dalam upaya mengurangi hukumannya," tegasnya.
Diketahui MA mengabulkan PK yang diajukan dua mantan Pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto selaku terpidana korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP).
Keduanya mendapat pengurangan hukuman yang berbeda. Hukuman Irman dikurangi menjadi 12 tahun dari sebelumnya 15 tahun di tingkat kasasi, sementara Sugiharto dijatuhi hukuman 10 tahun dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi.
"Pertimbangan majelis hakim PK mengabulkan permohonan PK pemohon/terpidana antara lain terpidana telah ditetapkan oleh KPK sebagai juctice collaborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK No. 670/01-55/06-2017 tanggal 12 Juni 2017," ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro ketika dikonfirmasi, Rabu (30/9).
Selain itu, majelis hakim juga menilai keduanya bukan pelaku utama dalam kasus tersebut. Keduanya juga dinilai telah memberikan keterangan serta bukti-bukti yang signifikan, sehingga penyidik dan penuntut umum dapat mengungkap peran pelaku utama dan pelaku lainnya.
Adapun majelis hakim yang memutus dua perkara tersebut yakni Suhadi selaku ketua hakim, serta dua anggota masing-masing Krisna Harahap dan Sri Murwahyuni. Namun putusan ini diwarnai Dissenting Opinion (DO) di antara para hakin.
"Namun demikian putusan PK kedua perkara tersebut hasil musyawarah majelis hakim PK tidak bulat, karena ketua majelis Suhadi menyatakan 'Dissenting Opinion' (DO). Suhadi menyatakan DO, karena terpidana a quo memiliki peran yang menentukan yaitu sebagai kuasa pengguna anggaran," kata Andi Samsan.(riz/gw/fin)
Info Grafis
22 Koruptor Nikmati Diskon Hukuman
Para koruptor yang mendapat pengurangan hukuman di tingkat PK oleh MA sepanjang 2019-2020:
1. Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman
Putusan 15 tahun di tingkat kasasi menjadi 12 tahun di tingkat PK
Kasus Korupsi KTP Elektronik (e-KTP)
2. Mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto
Putusan 15 tahun di tingkat kasasi menjadi 10 tahun di tingkat PK
Kasus Korupsi KTP Elektronik (e-KTP)
3. Mantan Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud
Putusan 6 tahun, dikurangi menjadi 4,5 tahun di tingkat PK
Kasus suap proyek di lingkungan Pemkab Bengkulu Selatan
4. Pengusaha Choel Mallarangeng
Putusan 3,5 tahun, dikurangi menjadi 3 tahun di tingkat PK
Kasus proyek pembangunan P3SON di Hambalang
5. Mantan Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun
Putusan 3 tahun 9 bulan, dikurangi menjadi 3 tahun di tingkat PK
Kasus suap mantan Ketua MK Akil Mochtar
6. Petinggi Lippo Group Billy Sindoro
Putusan 3,5 tahun, dikurangi menjadi 2 tahun di tingkat PK
Kasus suap perizinan proyek Meikarta
7. Pengusaha Hadi Setiawan
Putusan 4 tahun, dikurangi menjadi 3 tahun di tingkat PK
Kasus suap hakim Pengadilan Tipikor Medan
8. Mantan Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi
Putusan 6 tahun, dikurangi menjadi 4 tahun di tingkat PK
Kasus suap izin amdal
9. Pengacara OC Kaligis
Putusan 10 tahun, dikurangi menjadi 7 tahun di tingkat PK
Kasus suap majelis hakim dan panitera PTUN Medan
10. Mantan Ketua DPD Irman Gusman
Putusan 4,5 tahun, dikurangi menjadi 3 tahun di tingkat PK.
Kasus suap impor gula
11. Mantan Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Medan Helpandi
Putusan 7 tahun, dikurangi menjadi 6 tahun di tingkat PK
Kasus suap hakim Pengadilan Tipikor Medan
12. Mantan Anggota DPRD DKI Jakarta M Sanusi
Kasus suap Raperda Reklamasi Teluk Jakarta
Putusan 10 tahun, dikurangi menjadi 7 tahun di tingkat PK
13. Mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan Tarmizi
Putusan 4 tahun, dikurangi menjadi 3 tahun di tingkat PK
Kasus suap pengaturan perkara
14. Mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar
Putusan 8 tahun, dikurangi menjadi 7 tahun di tingkat PK
Kasus suap impor daging
15. Pengusaha Tamin Sukardi
Putusan 8 tahun, dikurangi menjadi 5 tahun di tingkat PK
Kasus suap hakim Pengadilan Tipikor Medan
16. Mantan Bupati Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip
Putusan 4,5 tahun, dikurangi menjadi 2 tahun di tingkat PK
Kasus suap revitalisasi pasar
17. Mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo
Kewajiban membayar uang pengganti dihapus di tingkat PK
Kasus suap pembelian tetraethyllead (TEL)
18. Mantan Panitera Pengganti PN Bengkulu Badaruddin Bachsin alias Billy
Putusan 8 tahun, dikurangi menjadi 5 tahun di tingkat PK
Kasus suap hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu
19. Mantan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra
Putusan 5,5 tahun, dikurangi menjadi 4 tahun di tingkat PK
Kasus suap pengadaan barang dan jasa
20. Mantan Wali Kota Kendari Asrun
Putusan 5,5 tahun, dikurangi menjadi 4 tahun di tingkat PK
Kasus suap pengadaan barang dan jasa
21. Mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Utara Rohadi
Putusan 7 tahun, dikurangi menjadi 5 tahun di tingkat PK
Kasus suap perkara Saipul Jamil
22. Mantan Anggota DPR Musa Zainudin
Putusan 9 tahun, dikurangi menjadi 6 tahun di tingkat PK
Kasus suap proyek Kementerian PUPR
Rerata Hukuman Koruptor sepanjang 2019
2 tahun 7 bulan penjara.
Total Kerugian Negara tahun 2019
Rp12 triliun (2019)
Uang Pengganti
Rp750 miliar (tidak sampai 10 persen)
Sidang Korupsi (2019)
Total terdakwa 1.125
842 orang divonis ringan (0—4 tahun)
9 orang divonis berat (di atas 10 tahun).
54 orang divonis
Sumber: KPK, ICW diolah