Mengaku Seumuran, Pedofil Dibekuk, Empat Orang Sudah Jadi Korban

Mengaku Seumuran, Pedofil Dibekuk, Empat Orang Sudah Jadi Korban

LESU : Pedofil asal Klaten, Fandi Anggoro Setyabudi (26), tertunduk lesu saat ungkap kasus di Mapolda DIJ, Senin (11/7). (DWI AGUS/RADAR JOGJA) RADARBANYUMAS, KLATEN - Penyidik Ditreskrimsus Polda DIJ berhasil menangkap seorang pedofil asal Klaten Jawa Tengah. Sosok bernama Fandi Anggoro Setyabudi (26), ini terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap 4 korban usia anak. Medianya adalah telepon video melalui aplikasi WhatsApp. Dirreskrimsus Polda DIJ Kombes Pol Roberto Gomgom Manorang Pasaribu menuturkan detil kasus. Berawal dari respon Bhabinkamtibmas Kalurahan yang mendapatkan laporan dari orangtua dan guru siswa. Bahwa ada tindakan tak senonoh kepada anak melalui media WhatsApp. “Jadi kejadian tanggal 21 Juni 2022, Bhabinkamtibmas Desa Argosari Sedayu, itu menerima laporan dari guru sekolah dan orangtua siswa ada 3 orang anak yang dihubungi oleh seseorang tidak dikenal,” jelasnya dalam rilis kasus di Mapolda DIJ, Senin (11/7). Tersangka, lanjutnya, melakukan telepon video kepada korban perempuan berusia 10 tahun. Pada awalnya mengajak ngobrol dengan tema obrolan seusia. Saat korban terlena, pelaku langsung menunjukan alat kelaminnya. https://radarbanyumas.co.id/waduh-kakek-65-tahun-tiduri-5-mahasiwi-tipu-daya-soal-skripsi/ Melihat ini, para korban menurut Gomgom mengalami trauma. Seketika telepon dari tersangka ditutup. Selanjutnya menangis dan melaporkan kejadian ke orangtuanya masing-masing. LESU : Pedofil asal Klaten, Fandi Anggoro Setyabudi (26), tertunduk lesu saat ungkap kasus di Mapolda DIJ, Senin (11/7). (DWI AGUS/RADAR JOGJA) “Kami langsung 22 Juni lakukan profiling. Data dan posisi pelaku diketahui dengan insial FAS alias Bendol. Kami lakukan penangkapan di Klaten Jateng,” tegasnya. Untuk memudahkan aksinya, Fandi mengaku sebagai teman sekolah. Sebagai sosok remaja dengan usia 11 tahun. Cara ini untuk membuka percakapan dengan para korbannya. Gomgom menuturkan metode ini menjadi pendekatan tersangka kepada korban. Istilah dalam bahasa Inggris adalah grooming. Teknik percakapan teman sebaya dengan tujuan membuat korbannya percaya dan nyaman saat berbincang. Hingga menunggu waktu yang tepat untuk beraksi. “Membuat target menjadi nyaman berhubungan. Ini sarana media berbahaya, celah dimanfaatkan oleh pelaku dengan memasang foto entah siapa. Anak 10 tahun belum mendapat pengetahuan cukup bisa jadi korban dari kejahatan,” ujarnya. Dari kasus ini, timnya berhasil menemukan sejumlah barang bukti. Termasuk 10 grup WhatsApp yang menjurus pada kegiatan asusila. Setiap grup memiliki anggota setidaknya 250 orang. Selain itu adapula grup Facebook yang beranggotakan 91 ribu akun atau orang. Aktivitas didalamnya tak berbeda jauh dengan grup WhatsApp. Menjadi ajang berbagai foto, video hingga nomor WhatsApp para korban. LESU : Pedofil asal Klaten, Fandi Anggoro Setyabudi (26), tertunduk lesu saat ungkap kasus di Mapolda DIJ, Senin (11/7). (DWI AGUS/RADAR JOGJA) “Dari semua itu kami mengumpulkan 3800 image terdiri dari foto dan video. Saat ini lakukan metode analis wajah dan gambar dengan tools kami miliki. Ada 60 gambar yang merupakan produksi baru dan belum beredar dan korbannya adalah anak,” katanya. Bermodalkan barang bukti ini, timnya melakukan pelacakan ke sejumlah wilayah. Deteksi sementara di kawasan Kalimantan dan Sumatera. Guna menemukan admin grup dan penyebar foto, video maupun nomor WhatsApp para korban. Dalam kesempatan ini, Ditreskrimum Polda DIJ juga akan menggandeng sejumlah pihak. Mulai dari KPAI, Kementerian Kominfo, Bareskrim hingga FBI. Kerjasama internasional guna melacak jaringan internasional kejahatan seksual terhadap anak. “Minta bantuan Kominfo, Facebook lalu FBI lakukan proses tracing dan takedown di Facebook dan WhatsApp grup yang close grup. Ini kami lakukan identifikasi, ada 10 grup sedang proses dan pengejaran anggota di lapangan,” tegasnya. Atas perbuatannya ini Fandi dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1) Jo 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun atau denda paling anyar Rp. 1 Miliar. Dijerat pula dengan Pasal 29 Jo Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Terancam pidana maksimal 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp. 6 Miliar. “Barang bukti adalah handphone digunakan pelaku yang hubungi korban, lalu kedua dapatkan potongan gambar pada saat pelaku menunjukkan alat kelamin kepada korban, lalu sprei, sarung bantal jadi petunjuk itu pelaku sesuai identik,” ujarnya. (Dwi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: