Mengenal Santi Setyaningsih, Gadis Asal Purbalingga Penulis Buku Aku Bangga Menjadi Tuna Rungu
Curhatannya Menjadi Buku Motivasi Bagi Disabilitas Ingin Disabilitas Tidak Minder Kekurangan kerapkali menjadi penghambat untuk maju dan berkembang, bahkan sering menjadi alasan seseorang untuk menutup diri. Namun hal itu tidak ada dalam kamus kehidupan Santi Setyaningsih SSos, gadis penyandang keterbatasan diri (disabilitas) indera pendengaran. Bahkan dari tulisan curhat di blog, akhirnya menjadi tulisan yang dilirik penerbit buku Aku Bangga Menjadi Tuna Rungu. BERPRESTASI : Santi yang murah senyum dan bangga bisa berkarya nyata untuk orang lain dengan segala keterbatasan. AMARULLAH NURCAHYO, Purbalingga Gadis kelahiran Purbalingga, 8 Mei 1991 ini mengalami masalah pada indera pendengaran sejak usia 4 tahun. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk memulihkan pendengaran Santi, namun saat itu belum ada hasil optimal. Sejak saat itu, komunikasi Santi kerap terhambat. Santi mengalami masalah berbahasa. Sehingga Santi menjadi gagap untuk bicara karena tidak dapat menyerap kata dan kalimat dengan sempurna. Namun anak pasangan Suryono dan Siti Satinah ini tetap menempuh pendidikan di sekolah reguler. Yakni di SDN I Nangkod, SMPN 2 Kejobong, dan Madrasah Aliyah Ngeri (MAN) dengan mulus tanpa mau menggunakan alat bantu pendengaran. Walaupun kedua orangtuanya sudah menyediakan. Gadis berparas cantik ini hanya berupaya keras dengan belajar menangkap gerakan mimik bibir lawan bicaranya. Termasuk ketika berada di kelas, Santi mencoba terus konsentrasi pada wajah guru agar bisa melihat gerakan bibir guru yang sedang menyampaikan materi pelajaran. Padahal Santi belum pernah belajar pengetahuan ilmu komunikasi untuk orang penderita tunarungu. “Ini risiko saya yang tidak mau menggunakan alat bantu pendengaran, saya harus belajar mencermati gerakan bibir lawan bicara. Itupun tidak sempurna, karena banyak gerakan bibir yang tidak bisa dicermati. Saya sering salah pengertian,” ungkap Santi. Usai menyelesaikan pendidikan di bangku pendidikan menengah, dia melanjutkan kuliah di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto jurusan Sosiologi Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Saat kuliah inilah, dia sadar pentingnya alat pendengaran. Maka dia memutuskan menggunakan alat bantu dengar. “Kuliah semester satu saya masih bertahan tidak menggunakan alat bantu, hasilnya nilai indek prestasi saya jeblok. Akhirnya saya sadar, harus mengakui kekurangan dalam diri saya. Hingga akhirnya mulai berani menggunakan alat bantu pendengaran hingga sekarang,” tambahnya. Di tengah keterbatasannya, sejak duduk di bangku SMP, Santi sangat hobi menulis. Bahkan sepulang sekolah, dia terus mengasah kemampuannya menulis di buku kecil catatan harian. Meski sebenarnya masih ada rasa minder, akhirnya dia menulis di blog. Kegemaran menulis terus didalami saat menjadi mahasiswa. Dunia menulis terus digeluti. Namun dia mengaku kesulitan menata per kalimat agar bisa dibaca dan dipahami dengan baik, karena minimnya perbendaharaan kata. Tapi hal itu tidak membuat Santi menyerah, dia terus semangat agar tulisan artikel berjudul Aku Bangga Menjadi Tunarungu bisa tertuang dalam bentuk tulisan. Artikel ini menceritakan pengalaman hidupnya serta suka dan duka menjadi seorang difabel. Tujuannya untuk memotivasi agar tidak merasa tergantung dengan orang lain karena keterbatasan diri. Hingga berjalan beberapa waktu, pengalaman 14 tahun melewati perjalanan kehidupan dan berinteraksi dengan orang normal dituangkan dalam bukunya Aku Bangga Menjadi Tunarungu. Buku ini adalah karya pertama Santi, berisi sepenggal kisah Santi berjuang mendapatkan pendidikan seperti halnya wanita dan orang normal lainnya. Setelah satu tahun lebih melewati proses editing berulang-ulang. Santi mengunggah artikelnya ke sebuah blog www.menulisbuku.com. Di sinilah artikel Santi dilirik sejumlah penerbit untuk dicetak menjadi buku. Salah satunya penerbit Creative Hous Dreams and Action (DNA) dari Dompet Dhuafa Purwokerto, yang berhasil menerbitkan buku Aku Bangga Menjadi Tunarungu pada tahun 2015 sebagai buku motivasi. Melalui buku ini, Santi mengajak semua untuk peduli pada mereka yang memiliki keterbatasan. Santi pun ingin menebar inspirasi bagi keluarga penyandang difabel agar berani menempuh kehidupan normal bagi keluarganya yang memiliki keterbatasan. Dari hasil penjualan bukunya, gadis yang menjadi Internal Communication di Komunitas Historia Indonesia ini mendedikasikannya untuk membantu kaum yang memiliki alat bantu dengar. “Biasanya akibat kekurangannya tersebut akan membawa dampak, yaitu terhambatnya perkembangan kemampuan berbahasa,” ungkap Santi. Untuk itu, Santi memiliki impian agar semua teman yang mengalami kemunduran pendengaran bisa melakukan hal-hal yang mungkin tidak semua orang normal bisa melakukan. (*/sus)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: