Namiarto, Penderes yang Jatuh dari Pohon Kelapa Kini Hanya Berbaring di Tempat Tidur
Menderes Sejak Belum Sunat Belum Dapat Bantuan dari Pemkab Manisnya gula tak semanis hidupnya. Begitulah yang dialami Namiarto (55), warga RT 09 RW 03 Desa Karangjengkol, Kecamatan Kutasari. Setelah jatuh dari pohon kelapa tujuh bulan lalu, bapak tiga putra ini tak lagi bisa beraktivitas. Tulang punggungnya retak. Tangan kanan dan kaki kiri tak dapat digerakkan. Kesehariannya dihabiskan di tempat tidur. Dua anaknya bekerja sebagai buruh di Jakarta. Istri dan anak bungsunya yang masih SMP harus ikut membantu mencari penghasilan dengan "ngidep" di rumah. BUDI CAHYO UTOMO, Purbalingga Wajahnya putih dan agak pucat. Maklum, selama delapan bulan ini, Namiarto hanya berada di dalam rumah. Tangan kanannya gemetar dan hanya diangkat sedikit saat bersalaman dengan Radarmas dan tamu yang berkunjung, Kamis (6/4). Saat itu dia sedang berbaring di lantai ruang tengah ditemani istrinya, Sukarsih. Jangankan berjalan, untuk duduk saja sudah tidak bisa. Kaki kanannya tidak dapat digerakkan. Ditekuk saja tidak bisa karena sudah kaku. Dia harus dibantu orang lain untuk bisa turun dari ranjang. "Kalau berjalan seperti ular. Hanya kepala dan badannya yang digerakan sambil terlentang," tuturnya. Nawiarto mengisahkan. Memanjat pohon kelapa bagi dia sebenarnya sudah sangat lihai. Pasalnya, dia melakukan aktivitas menderes sejak belum disunat. Memanjat pohon, mengambil pongkor (wadah nira, red) dan mengolah nira menjadi gula kelapa sudah dijalani selama puluhan tahun. Namun mungkin sudah takdirnya, pada Agustus 2016 lalu, dia terpeleset saat memanjat pohon kedelapan. Hal itu membuat Namiarto harus 'gantung pongkor' alias berhenti menderes. "Saat terbangun, saya sudah ada di rumah sakit. Badan sakit sekali. Saya sudah diperiksa di Rumah Sakit Wirasana (RSUD Goeteng, red). Sebenarnya saya sudah dapat rujukan untuk dirawat di rumah sakit di Purwokerto. Tapi saya bingung, nanti biayanya bagaimana," tuturnya polos. Karsih, sang istri menceritakan, sebenarnya dia memiliki fasilitas BPJS. Namun, persoalan menjalani perawatan medis bagi masyarakat kecil seperti mereka bukan perkara yang mudah. Meskipun sebenarnya biaya medis bisa didapatkan secara gratis. Namiarto dan Karsih masih bingung prosedur penggunaan BPJS, transportasi, biaya saat menunggu di rumah sakit serta biaya untuk anaknya di rumah. "Ada kartu BPJS. Tapi saya bingung, bagaimana nanti kalau dirawat di Purwokerto. Karena itu saya tidak memanfaatkan rujukan itu," tambah Karsih. Karsih mengatakan, mereka tak memiliki penghasilan yang pasti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kadang ada kiriman uang dari anaknya yang bekerja di Jakarta. Namun kadang tidak ada. Karsih dan Sela, anaknya yang masih SMP, membantu mencari pendapatan dengan 'ngidep' di rumah. Ya, ruang tengah tersebut juga menjadi ruang kerja bagi Karsih dan Sela yang harus pintar membagi waktu antara belajar dan ngidep. Sebuah piranti untuk membuat bulu mata palsu tergeletak di meja ruang tengah. Tak ada hiburan di rumah sederhana berbilik kayu dan bambu itu. Jangankan televisi, radio juga tidak ada. "Hasil ngidep bisa sedikit membantu keperluan dapur. Tapi untuk kebutuhan lain, saya masih bingung. Kalau ada ayam ya jual ayam, kalau ada pisang ya jual pisang. Apa yang bisa dijual ya dijual untuk hidup," tambahnya. Saat itu, sejumlah personel TNI dari Koramil Kutasari, anggota PP Kutasari ditemani Kadus 3 Desa Karangjengkol Muhanto, datang untuk menjenguk Namiarto. Biasanya, penderes yang mengalami cacat tetap akibat jatuh dari pohon kelapa akan mendapatkan santunan dari pemkab. Namun hal ini tidak dialami Namiarto. "Saat dia jatuh, sudah kami laporkan ke kecamatan. Namun sampai saat ini belum ada bantuan atau santunan untuk Namiarto. Saya tidak tahu apa penyebabnya," tutur Kadus 3 Desa Karangjengkol, Muhanto. (*/sus)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: