Dari Pengukuhan Gelar Profesor Jaksa Agung di Unsoed, Sempat di-Demo Mahasiswa Unsoed Hingga Dipagar Kawat Ber

Dari Pengukuhan Gelar Profesor Jaksa Agung di Unsoed, Sempat di-Demo Mahasiswa Unsoed Hingga Dipagar Kawat Ber

PURWOKERTO - Barikade kawat berduri memisahkan antara mahasiswa dan polisi. Aliansi BEM mahasiswa seluruh Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto menggelar aksi saat pengukuhan gelar profesor Jaksa Agung, ST Burhanuddin oleh kampus tersebut, Jumat (10/9/2021). Di simpang menuju tempat pengukuhan di Graha Widyatama Unsoed, polisi membarikade lokasi tersebut. Dalam aksinya, aliansi mahasiswa mengkritisi keputusan Unsoed yang mengukuhkan gelar profesor ke ST Burhanuddin. https://radarbanyumas.co.id/aksi-berlangsung-damai-mahasiswa-tinggalkan-lokasi-dengan-tertib/ https://radarbanyumas.co.id/ada-demo-mahasiswa-masyarakat-sekitar-unsoed-juga-gelar-demo-tandingan-minta-mahasiswa-elegan-sampaikan-aspirasi/ Sementara di Auditorium Graha Widyatama UNSOED, berlangsung secara luring dan daring pengukuhan Jaksa Agung Dr. ST. Burhanuddin SH, MH sebagai Profesor dalam bidang ilmu keadilan restoratif, digelar. Selama ini dia mengajar sebagai Dosen Luar Biasa di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Jaksa Agung Prof.Dr. ST Burhanuddin juga memiliki pemikiran dan rekam jejak dalam penegakkan hukum dengan mengedepankan restorative justice. Dalam laman resmi Unsoed disebutkan dalam orasi ilmiahnya, Prof.Dr. ST Burhanuddin SH.,MH menyampaikan judul “Hukum Berdasarkan Hati Nurani (Sebuah Kebijakan Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif)”. Disampaikan bahwa beranjak dari tataran empiris, tidak dapat kita pungkiri, hukum saat ini masih mengedepankan aspek kepastian hukum dan legalitas-formal, daripada keadilan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat. Sebagian besar kalangan juga masih memandang jika hukum bagaikan pisau yang tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. “Banyak kalangan yang akhirnya mempertanyakan di mana letak “Hati Nurani” para aparat penegak hukum, yang tega menghukum masyarakat kecil dan orang tua renta atas kesalahannya yang dipandang tidak terlalu berat? Apakah semua perbuatan pidana harus berakhir di penjara? Dan masih adakah keadilan bagi masyarakat kecil? Kegelisahan-kegelisahan inilah yang perlu ditinjau lebih dalam bagaimana suatu tujuan hukum dapat tercapai secara tepat dalam menyeimbangkan hukum yang tersurat dan tersirat”, ungkap Jaksa Agung dalam portal resmi Unsoed. Dia menggunakan pendapat dari Gustav Radbruch, yaitu tujuan hukum terdiri dari 3 (tiga) hal yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam mewujudkan tujuan hukum tersebut, Gustav Radbruch menyatakan perlu digunakan asas prioritas dari 3 (tiga) nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. “Keadilan adalah tujuan utama dari hukum, tetapi bukan berarti tujuan hukum yang lain yaitu kepastian dan kemanfaatan terpinggirkan. Ketika keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum saling menegasikan, maka Hati Nurani menjadi jembatan untuk mencapai titik neraca keseimbangan. Hati Nurani bukanlah tujuan hukum, melainkan instrumen katalisator untuk merangkul, menyatukan, dan mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara sekaligus”, urainya. Terdapat 3 (tiga) pendekatan bagaimana masing-masing tujuan hukum berada dalam bingkai Hati Nurani, yaitu: Pertama, Keadilan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani, Kedua, Kemanfaatan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani, dan Ketiga, Kepastian Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani. “Untuk mewujudkan keadilan hukum yang hakiki dan untuk lebih memanusiakan manusia di hadapan hukum, maka penerapan Hukum Berdasarkan Hati Nurani adalah sebuah kebutuhan dalam sistem peradilan pidana Indonesia”, jelasnya. Lebih lanjut Prof .Dr. ST Burhanuddin SH.,MH menyampaikan bahwa adanya Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang belum mengatur penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Hingga saat ini, konsep keadilan restoratif berdasarkan peraturan perundang-undangan hanya ada 2 (dua) yaitu: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana peruntukannya hanya untuk pelaku Anak; dan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif, yang mana peruntukannya untuk pelaku dewasa. Filosofi Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif adalah untuk melindungi masyarakat kecil. Hal esensial dari Keadilan Restoratif yaitu “pemulihan”. Berdasarkan hasil evaluasi sejak diberlakukannya Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif sampai dengan tanggal 1 Agustus 2021, terdapat sebanyak 304 (tiga ratus empat) perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan keadilan restoratif. Adapun tindak pidana yang paling banyak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif adalah tindak pidana penganiayaan, pencurian, dan lalu lintas. Terdapat 5 (lima) asas yang terkandung dalam Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif yaitu: keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, serta cepat, sederhana, dan biaya ringan. Mengakhiri pidatonya Prof.Dr. ST Burhanuddin SH.,MH menekankan bahwa Hukum berdasarkan Hati Nurani akan dapat mencapai dan mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum secara bersamaan tanpa ada penegasian. Rektor UNSOED, Prof.Dr.Ir Suwarto, MS dalam sambutannya mengatakan bahwa Gelar Profesor dipercayakannya Prof.Dr. ST Burhanudin oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam Bidang Ilmu Keadilan Restoratif di Universitas Jenderal Soedirman merupakan sebuah kehormatan tersendiri. “Pemikiran Prof. Dr. ST Burhanudin tentang Hukum Berdasarkan Hati Nurani: Kebijakan Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif, hakikatnya menghadirkan arti hukum sebagai sebuah instrumen yang memberikan perlindungan, kemanfaatan dan rasa keadilan di masyarakat,” jelasnya. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat sistem hukum dan keadilan sebagai bagian integral dalam mewujudkan kualitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Rektor mengatakan bahwa pemikiran tentang pengedepanan aspek nurani, sejatinya memiliki nilai kekuatan filosofis yang memantik kita sebagai sivitas akademika untuk selalu menghasilkan ide, gagasan dan karya dengan senantiasa mempertimbangkan kebermaknaan dan nilai-nilai kemanusiaan. AKSI PROTES: Massa aksi tertahan barikade kawat berduri pihak keamanan, 200 meter dari tempat pengukuhan Jaksa Agung RI sebagai Profesor Honoris Causa oleh Unsoed, yang digelar di gedung Graha Widyatama, Jumat (10/9). Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Seluruh Unsoed menuntut Jaksa Agung RI menyelesaikan segala kasus pelanggaran HAM Berat. DIMAS PRABOWO/RADARMAS Sementara itu, diluar gedung pengukuhan, mahasiswa menilai, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang ditangani Kejaksaan Agung selama ini tidak pernah selesai. Beragam poster dibentangkan, yang menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM. "Kasus Munir, Semanggi 1 dan 2 terjadi di Bulan September. Kita ingatkan kepada Prof ST Burhanuddin," ujar seorang orator. Presiden BEM Unsoed Purwokerto, Fachrul Firdausy mengatakan, aksi ini sebagai tandingan dari pengukuhan Profesor ST Burhanuddin sebagai Profesor Abai HAM. "Jadi ketika di dalam ada pengukuhan beliau sebagai Profesor Hukum Pidana, maka kami disini melaksanakan pengukuhan tandingan," katanya. Mahasiswa menyoroti soal kasus pelanggaran HAM berat yang tidak kunjung diselesaikan. Mahasiswa mencatat setidaknya ada 12 kasus pelanggaran HAM yang harus diselesaikan oleh Kejaksaan Agung. Disisi lain, Ia tak mempermasalahkan ketika beliau menjadi profesor, memenuhi standar secara akademik, kemudian berkontribusi secara akademik kedepan untuk almamater Unsoed. "Itu tentunya sangat baik. Tapi yang kami masalahkan adalah ketika beliau tidak menjalankan tugasnya dengan baik, untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu," ujarnya. Di sela-sela aksi, datang juga satu rombongan meski tak lama. Mereka mengatasnamakan Masyarakat Banyumas sekitar Unsoed. Saling sahut suara antar demonstran pun terjadi. Koordinator aksi tandingan, Nanang Sugiri mengatakan, aksi yang dilakukan mahasiswa tidaklah perlu. Ia menyambut baik kehadiran Jaksa Agung Burhanuddin ST yang dikukuhkan menjadi profesor di Graha Widyatama. Menurutnya, itu membuat bangga masyarakat Banyumas. Sebab Unsoed milik masyarakat Banyumas bukan hanya milik mahasiswa Unsoed saja. (*/mhd/ali/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: