Polemik Tambang Nikel Raja Ampat: KLHK Bakal Tinjau Ulang Perizinan, SDM Klaim Tidak Ada Kerusakan
Tambang nikel di Raja Ampat memicu polemik antar kementerian dan masyarakat.--
RADARBANYUMAS.CO.ID - Raja Ampat kembali jadi pusat perhatian. Bukan karena promosi pariwisata, bukan pula karena kekayaan terumbu karangnya yang mendunia. Kali ini, karena ancaman nyata dari aktivitas tambang nikel yang menjalar ke wilayah yang dijuluki sebagai “surga terakhir di bumi”. Ironisnya, bukan hanya lingkungan yang dipertaruhkan—melainkan juga komitmen negara pada keberlanjutan.
Pemerintah pusat terbelah sikap. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut kerusakan ekologis di beberapa titik sebagai alarm bahaya. Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersikukuh bahwa aktivitas tambang masih dalam batas aman.
KLHK melalui Menteri Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan hasil pengawasan pada empat perusahaan tambang, yakni PT GN, PT ASP, PT KSM, dan PT MRP, yang berlangsung pada 26–31 Mei lalu. Hasilnya mencengangkan: ditemukan indikasi pelanggaran serius dari perambahan hutan hingga kegiatan tanpa izin lingkungan.
"PT GN berkegiatan di Pulau Gag, pulau kecil yang masuk kawasan hutan lindung. Persetujuan lingkungannya akan ditinjau kembali. Kita perintahkan pemulihan ekologis,” kata Hanif, Minggu (8/6). Ia mengingatkan bahwa pemanfaatan pulau kecil harus selaras dengan UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
BACA JUGA:Surga Tersembunyi! Ini Hotel Mewah di Raja Ampat yang Bikin Liburan Makin Berkesan
Tak berhenti di situ, PT ASP disorot karena melakukan tambang di kawasan suaka alam di Pulau Waigeo. Bahkan kolam limbahnya dilaporkan jebol dan mencemari laut. PT KSM dinilai menambang di luar izin yang diberikan, dan PT MRP diduga mengebor kawasan hutan tanpa dokumen apa pun. KLHK kini membuka opsi penegakan hukum pidana hingga penghentian kegiatan.
Namun klaim kerusakan itu segera dibantah ESDM. Dirjen Mineral dan Batubara, Tri Winarno, menyatakan hasil tinjauan udara tak menunjukkan sedimentasi. “Air tetap jernih, aktivitas nelayan normal. Jadi overall, tidak ada masalah,” ujarnya. ESDM bahkan menilai PT Gag Nikel berkontribusi pada ekonomi lokal karena membeli hasil tangkapan nelayan.
Dukungan terhadap tambang juga datang dari Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, dan Bupati Raja Ampat, Orideko Iriano Burdam. Mereka mengklaim masyarakat setempat justru menolak jika tambang ditutup. “Semua menangis minta jangan ditutup. Mereka merasa tambang ini membantu hidup mereka,” ujar Elisa.
Namun suara dari parlemen dan aktivis lingkungan menyeimbangkan wacana. Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, mendesak evaluasi menyeluruh. “Kalau benar ada kerusakan, izin harus dicabut. Jangan perusahaan untung, masyarakat rugi,” tegasnya saat kunjungan kerja ke Raja Ampat.
BACA JUGA:Menjelajahi Raja Ampat Dive Resort, Penginapan Ekslusif Milik Artis Ternama
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga telah terjun ke lapangan. Ia membela tambang PT GN dengan menyebut letaknya jauh dari spot wisata utama. “Tambangnya di Pulau Gag, bukan di Piaynemo. Jaraknya 30-40 km,” ujarnya, menekankan bahwa izin tambang itu bukan warisan kebijakan dirinya.
Namun dalih ini dinilai menyesatkan oleh pegiat lingkungan. “Laut tidak mengenal jarak administratif. Kalau satu rusak, semua bisa terdampak,” kata salah satu aktivis yang menolak tambang di Raja Ampat.
Polemik ini menyisakan pertanyaan besar: untuk siapa kekayaan alam Raja Ampat dipertahankan? Di satu sisi, masyarakat lokal memang butuh ekonomi. Tapi di sisi lain, rusaknya ekosistem laut berarti kehilangan jangka panjang yang tak bisa dibayar dengan nilai jual nikel hari ini.
Kini publik menanti, apakah pemerintah memilih langkah korektif yang berpihak pada kelestarian, atau tunduk pada tekanan ekonomi jangka pendek. Karena yang sedang dipertaruhkan bukan hanya hutan dan laut, tapi juga kredibilitas Indonesia sebagai pemilik salah satu keajaiban ekologis dunia.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


