Satu contoh persoalan masyarakat yang determinan dengan problem kerapuhan etika adalah karena pola asuh yang memberi kebebasan dan toleransi pada anak usia dini sehingga menyebabkan anak menjadi minim tanggung jawab, egois, self sentris, permisif, mentalitas menerabas, tidak disiplin, meremehkan mutu (meritocracy), berwatak lemah, tidak berpendirian, boros, dan tidak mau bekerja keras.
BACA JUGA:Ciptakan Produk Hukum Daerah Berbasis Pancasila, BPIP dan Undip Luncurkan Laraskumda di Klaten
BACA JUGA:Kepala BPIP Sambut Kedatangan Duplikat Bendera Pusaka dan Teks Proklamasi di Kaltim
“(Pola asuh) itu tidak membentuk karakter, apalagi karakter tanggung jawab. Tanggung jawab adalah inti dari semua karakter mulia. Orang yang bertanggung jawab tidak akan melakukan korupsi, tidak akan lakukan pungli. Di masyarakat kita karakter tanggung jawab tidak ditanamkan,” ungkap Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog Universitas Indonesia.
Selain itu ditambah dengan orientasi budaya “shame culture”, sistem kekerabatan keluarga luas (extended kinship system), ketergantungan anak pada orang tua dalam pola tempat tinggal serta sistem komunal “Big man” (penghambaan terhadap salah satu tokoh keluarga).
Semua ini jika dibawa pada ranah kenegaraan menciptakan kepatuhan buta. Hal ini berbeda dengan pola asuh masyarakat Barat dengan piramida terbalik yang melakukan pembatasan dan pengajaran secara ketat saat anak pada usia dini dan mandiri saat dewasa sehingga anak tumbuh dengan tanggung jawab dan menempatkan hak orang lain diatas haknya karena menyadari bahwa setiap individu memiliki kesamaan hak.
Jika dikorelasikan antara akar pola asuh yang membentuk perilaku niretika dan kehidupan masyarakat luas, khususnya para penyelenggara negara juga ketiadaan tauladan dari penyelenggara negara maka menjadi bola panas yang semakin memperburuk situasi kerapuhan etika di seluruh elemen anak bangsa.
BACA JUGA:BPIP Pastikan Kesiapan Calon Paskibraka Makin Meningkat Jelang ke Ibu Kota Nusantara
“Situasi kurang sensitivitas banyak dilakukan oleh penyelenggara negara,” ujar Zuly Qodir, Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Contoh lainnya, digitalisasi telah menciptakan masyarakat baru (nitizen) kerap kali menggunakan media sosial dengan tidak bijak dengan menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, dan lain sebagainya.
Mereka juga cenderung tidak kritis dan tidak melakukan filterisasi terhadap berita dan informasi sehingga menjadi komunitas yang memperburuk sistem bernegara yang beretika.
Padahal citizen Indonesia di lain pihak mempromosikan sikap toleran seperti imam besar Masjid Istiqlal yang mencium kepala Paus Fransiskus saat berkunjung ke masjid Istiqlal, Jakarta. Di sisi lain netizen justru menyebarkan berita hoaks yang sungguh keji dan mencederai agama.
BACA JUGA:Hadiri Rapat Kerja dan RDP, Komisi II DPR RI Apresiasi dan Dorong Perkuat Kelembagaan BPIP
BACA JUGA:BPIP Tegaskan Hasil Ijtima MUI Berpotensi Merusak Kemajemukan dan Melawan Pancasila
“Ini ada masalah pada media sosial. Di kalangan netizen, saya melihat banyak pikiran busuk. (Tapi) Ini masalah netizen, bukan masaah citizen. Kelihatannya citizen tidak bermasalah besar,” ujar Moch Qasim Mathar, Guru Besar UIN Alauddin Makassar.